SEMARANG, beritajateng.tv – Warga Lereng Gunung Merapi-Merbabu menggugat praperadilan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Tengah dan Dinas Perhubungan Jawa Tengah buntut praktik dugaan tambang ilegal di Kabupaten Magelang.
Gugatan praperadilan ini dilayangkan ke Pengadilan Negeri Semarang oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sapu Jagad Gunung dan Koordinator Masyarakat Anti-korupsi (MAKI) Boyamin Saiman sebagai kuasa hukum.
Mereka mengajukan permohonan praperadilan untuk memeriksa keabsahan dari penghentian penyelidikan kasus tambang ilegal oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Tengah.
Tak hanya itu, kerusakan jalan akibat aktivitas truk tambang juga menjadi alasan gugatan praperadilan dilayangkan pada Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Tengah.
BACA JUGA: Tragedi Longsor Brown Canyon: Satu Tewas, Legalitas Tambang Masih Tanda Tanya
Adapun sidang pertama dengan Kapolda Jawa Tengah akan berlangsung pada Rabu, 7 Mei 2025 besok. Sementara sidang bersama Dinas Perhubungan Jawa Tengah akan berlangsung Senin, 19 Mei 2025 mendatang.
“Surat pengadilan sudah kami terima dari PN Semarang. Kami sudah daftar minggu lalu, kemudian kami sudah mendapat surat panggilan sidang untuk yang pertama melawan Kapolda Jateng pada 7 Mei 2025 dan Dinas Perhubungan pada 19 Mei 2025,” tutur Boyamin saat beritajateng.tv jumpai di Kota Semarang, Senin, 5 Mei 2025 sore.
Gugatan praperadilan itu baginya bukan tanpa alasan. Adapun tambang ilegal yang oknum tak bertanggung jawab lakukan menurutnya sudah merusak lingkungan sekitar dan merugikan warga.
“Mari kita kawal, mudah-mudahan sebagai upaya membujuk, merayu, memaksa instansi terkait, untuk menghentikan penambangan ilegal di lereng Gunung Merapi. Khususnya di Taman Nasional Merapi-Merbabu, itu sudah membahayakan kehidupan warga sana,” tegas Boyamin.
Warga sampai kehilangan sumber air, Boyamin ungkap adanya korban jiwa imbas tambang ilegal
Boyamin menuturkan, penggalian tambang ilegal itu sudah merusak sumber air yang warga sekitar gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan, tutur Boyamin, warga sudah kehabisan sumber air untuk bertani.