SEMARANG, beritajateng.tv – Berbanding terbalik dengan serikat buruh yang mengaku kecewa, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah justru menyambut baik Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang dihapus di beberapa daerah, seperti Jepara dan Kota Semarang.
Ketua Apindo Jawa Tengah, Frans Kongi, menegaskan penghapusan UMSK di sejumlah daerah tersebut memang menjadi salah satu hal yang selama ini pihaknya perjuangkan.
“Itu memang harus begitu. Itu harus begitu karena kami perjuangkan begitu,” ujar Frans saat beritajateng.tv hubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 25 Desember 2025.
Menurut Frans, penetapan UMSK tidak bisa secara sembarangan dan harus melalui kajian yang ketat. Ia menilai, langkah Kabupaten Jepara yang memilih mengkaji ulang UMSK pada 2026 sudah tepat dan sesuai aturan.
“UMSK itu harus dikaji, Jepara itu bersepakat untuk mengkaji 2026. Saya sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan pengupahan,” tegasnya.
BACA JUGA: UMP 2026 Ketok Palu, Buruh Jateng Soroti Hilangnya UMSK
Frans menilai tidak semua sektor dapat langsung dimasukkan ke dalam kategori sektoral. Ia mencontohkan sektor garmen yang menurutnya tidak otomatis memenuhi syarat sebagai sektor dengan upah minimum sektoral.
“Enggak bisa sekarang kita tentukan misalnya sektor garmen. Enggak ada; enggak masuk di dalam kategori sektoral,” ucap Frans.
Ia berharap daerah lain dapat mengikuti langkah Jepara. Menurutnya, penetapan UMSK memiliki syarat yang bersifat limitatif dan tidak semua wilayah atau sektor memenuhi kriteria tersebut.
“Daerah-daerah lain kami harapkan ikut begitu. Karena itu sudah ada secara limitatif persyaratannya untuk bisa ada sektoral. Di samping memang perusahaan di daerah itu juga harus cukup banyak,” katanya.
Apindo nilai upah sudah menyesuaikan pasar kerja dan kondisi perusahaan
Lebih lanjut, Frans menjelaskan alasan Apindo mendorong agar UMSK tidak lagi diberlakukan. Menurutnya, dalam praktik sehari-hari, perusahaan sudah memberikan upah yang lebih tinggi untuk pekerjaan yang memiliki risiko, tingkat kesulitan, atau membutuhkan keterampilan tertentu.
“Di dalam praktik kehidupan perusahaan sehari-hari, kami memberikan upah kalau pekerjaan itu memang berat, berbahaya, mengandung risiko, dan perlu keterampilan tinggi, ya kami bayar lebih,” ujarnya.













