BLORA, beritajateng.tv – Namanya Listiono Sigit Irawan (28). Meski memiliki kekurangan fisik, warga Desa Jatiklampok, Kecamatan Banjarejo, Blora, Jawa Tengah ini tetap semangat membantu para difabel Blora.
Sigit hanya punya satu kaki. Ia kehilangan salah satu kakinya karena kecelakaan motor. Penderitaannya makin bertambah saat sang istri pergi meninggalkannya.
Namun semua cobaan hidup tersebut tak membuatnya patah semangat. Listiono kini menjadi pengrajin kaki palsu untuk para difabel. Selain itu, ia juga mempunyai usaha potong rambut. Kedua usahanya tersebut bernaung dalam organisasi Difabel Blora Mustika.
BACA JUGA: Video Difabel Blora Kebingungan saat Simulasi Pencoblosan
Sigit menceritakan kisah hidupnya. Saat itu ia sedang merantau ke Jakarta. Ia bekerja menjadi sopir di sebuah perusahaan. Namun kemudian mengalami kecelakaan hingga kehilangan salah satu kakinya.
“Saat 2019 itu saya kecelakaan di Jakarta. Lalu saya coba pijet sangkal putung. Kok malah bengkak, akhirnya saya dibawa ke Solo dan harus amputasi. Dari situ saya ngedrop,’’ terangnya di bengkel kaki palsunya di Blora, Senin 13 Mei 2024.
Tak sampai disitu, ia juga tak bisa berdiri walaupun telah menjalani amputasi. Ternyata bagian punggungnya patah tulang. Hingga akhirnya hanya bisa berbaring selama dua tahun lebih.
‘’Dari situ istri saya meninggalkan saya dan membawa anak saya. Harta saya cuma motor dibawa juga. Jadi ini saya kalau kerja ke kota harus nebeng teman. Itupun kalau sudah di kota saya harus nginep di bengkel biar tidak menyusahkan kawan,’’ tuturnya.
Komunitas difabel Blora beri semangat untuk bangkit
Nasib pahit memang sedang dialami Sigit saat itu. Ia mengakui sempat terpikir untuk menunggu ajal menjemputnya. Hingga akhirnya ia mendapatkan motivasi dari sesama difabel yang sedang menjenguknya.
‘’Saya ingat 2021 an itu saya didolani sama Mas Soni tetangga saya. Sama-sama difabel. Saya mendapatkan semangat untuk bangkit. Akhirnya saya ia bawa ke organisasi difabel,’’ tuturnya.
Setelah datang ke organisasi tersebut, ia mulai membiasakan diri untuk bersosialisasi lagi setelah mengurung dua tahun dalam kamar. Ia akui, butuh setahun lebih untuk kembali bisa bangkit.
‘’Itu setahun saya latihan berdiri, jalan, dan bersosialisasi. Saking beratnya tubuh jadi memang sesulit itu,’’ ucapnya.