“Kami mendukung Kemenag, Kemenag mendukung kami. Semua saling mendukung agar pembangunan kependudukan selaras dengan kondisi lingkungan,” tuturnya.
Budaya Jawa Tengah masih mendorong pernikahan
Meskipun tren angka pernikahan menurun terlihat di beberapa daerah, kondisi di Jawa Tengah dinilai belum mengkhawatirkan. Faktor budaya dan tekanan sosial dari lingkungan masih menjadi pendorong kuat untuk menikah dan memiliki anak.
“Di Jawa Tengah, saat Lebaran misalnya, keluarga masih bertanya ‘kapan menikah?’ atau ‘kapan punya anak?’. Tekanan sosial seperti ini membuat tren tidak menikah lebih kecil dibanding daerah lain,” jelas Eka.
Namun, ia juga mengakui ada beberapa kelompok masyarakat yang memilih menikah di usia matang atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali.
Selain faktor budaya, mobilitas pendidikan turut memengaruhi data pernikahan. Banyak anak muda dari Jawa Tengah merantau ke kota besar untuk menempuh pendidikan tinggi, seperti di Jakarta, Yogyakarta, atau luar negeri.
“Banyak yang sekolah di kota besar, lalu bertemu pasangan di sana, menikah di sana, bukan di daerah asal. Hal ini juga memengaruhi catatan angka pernikahan di daerah,” tambahnya.
Dampak ekologis dan sosial jika angka kelahiran terlalu rendah
BKKBN menegaskan, menjaga angka kelahiran seimbang tidak hanya berkaitan dengan jumlah penduduk semata, tetapi juga kelestarian ekosistem sosial dan lingkungan. Dengan jumlah penduduk yang sesuai daya dukung lingkungan, negara dapat memastikan kualitas hidup masyarakat tetap terjaga.
“Supaya penuhi tumbuh seimbang itu penting untuk menjaga lingkungan dan ekosistem. Semua saling berkaitan satu sama lain,” tegasnya.
Jepang menjadi contoh nyata bagaimana rendahnya angka kelahiran dapat menyebabkan masalah ekonomi dan sosial yang kompleks. Populasi menurun, proporsi penduduk lanjut usia meningkat, dan tenaga kerja menyusut drastis.
Jika Indonesia tidak menjaga keseimbangan angka kelahiran, bukan tidak mungkin akan menghadapi tantangan serupa di masa depan. Oleh karena itu, BKKBN mendorong masyarakat untuk tetap melihat pernikahan dan keluarga sebagai pilar penting dalam keberlanjutan bangsa. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi