“Kalau dulu bentuknya kayak coffee shop biasa, sekarang lebih jadi diri sendiri. Di sini bisa bakar kopi pakai kayu, bisa ngobrol soal tembakau. Lebih lepas dan lebih jujur,” katanya.
Bale Muktis menampung biji kopi dari berbagai daerah seperti Gayo, Aceh, Temanggung, Ijen, Muria, hingga Toraja.
Sementara tembakaunya datang dari Karangawen, Weleri, Temanggung, Garut, Sumedang, Madura, Sulawesi, hingga Aceh Takengon.
“Setiap daerah punya karakter. Bahkan panen dari petani yang sama bisa beda hasilnya. Nah, di sini kita ngobrolin itu. Belajar bareng,” ujar Radika.
BACA JUGA: Buat Nongki Malam Minggu, Daftar Cafe di Semarang Berikut ini Siap Buka 24 Jam
Lebih dari sekadar tempat ngopi, Bale Muktis yang buka mulai 17.00 WIB hingga tengah malam kini menjadi ruang berbagi cerita, tempat pelestarian cara hidup sederhana yang berakar dari tradisi.
“Di sini semua orang bisa datang, belajar, ngobrol, tanpa sekat. Kalau budaya ini bisa terus hidup lewat obrolan,” pungkasnya.
Machfud, pengunjung yang pertama kali datang ke Bale Muktis, mengatakan bahwa suasana tempat ini sangat berbeda dengan kafe-kafe lainnya.
“Beda banget, kalau di kafe lain itu duduk kursi-kursi. Di sini lesehan dan orang-orangnya gampang akrab satu sama lain,” ujarnya.
Ia melanjutkan bahwa nongkrong di Bale Muktis juga bisa mendapatkan pengalaman bari dari cerita-cerita pengunjung. Bahkan, pengetahuan mengenai kopi dan tembakau. (*)
Editor: Farah Nazila