Ia menilai, jika tidak ada urgensi dari kelembagaan dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), keterlambatan ini sulit dipahami dan justru memicu ketidakpastian.
“Kalau terlalu lama ini menjadi kurang baik dari sisi psikologis market. Pelaku usaha butuh kepastian untuk melakukan perencanaan ke depan dan menghadapi kemungkinan-kemungkinan terkait kenaikan upah,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah perlu memberikan penjelasan terbuka mengenai alasan belum di terbitkannya aturan tersebut.
“Secara kelembagaan sebenarnya butuh penjelasan alasannya kenapa. Itu memberi kepastian kepada market,” sambungnya.
Selain pengusaha, Wahyu menyebut kelompok pekerja atau buruh juga terdampak dari aspek psikologis. Mereka menunggu kepastian upah untuk menyesuaikan konsumsi dan perencanaan pengeluaran.
“Ekspektasinya tentu meningkat sesuai harapan mereka. Itu berpengaruh terhadap perilaku belanja dan ekspektasi ke depan seperti apa,” ujarnya.
BACA JUGA: Pengamat Ungkap UMP di Jateng Idealnya Naik 8 Persen Jadi Rp2,3 Juta, Singgung Konsep Ekonomi
Ia menilai, kelompok buruh juga sudah mempersiapkan langkah apabila kebijakan nantinya tidak sesuai tuntutan.
“Kalau kebijakannya tidak cocok dengan mereka, pasti mereka sudah punya planning untuk itu,” ucapnya.
Namun, Wahyu menegaskan bahwa dampak paling besar justru dirasakan pengusaha karena mereka harus melakukan penyesuaian struktural.
“Aktor yang paling terkena itu para pengusaha. Mereka harus melakukan adjustment, bicara tripartit dengan buruh dan pemerintah, dan menghadapi reaksi buruh seperti apa,” tuturnya. (*)
Editor: Farah Nazila













