Ia mencontohkan, transportasi daring kini sudah terbatasi oleh pemerintah dalam hal tarif, sehingga model serupa bisa di terapkan untuk bajaj.
“Harus ada aturan jelas soal di mana bajaj boleh beroperasi dan bagaimana tarifnya. Kalau diintegrasikan dengan ojol, misalnya untuk jarak dekat di bawah 1 kilometer tarifnya murah, itu bisa jadi solusi feeder dari rumah ke halte Trans Semarang,” tuturnya.
BACA JUGA: Isi Liburan Sekolah dengan Kegiatan Edukatif, Begini Serunya Keliling Semarang Naik Bajaj
Menurutnya, bajaj juga bisa mengisi kekosongan layanan ketika angkutan umum reguler tidak beroperasi, misalnya malam hari.
Lebih jauh, Theresia menekankan bahwa pengalaman pengguna akan menjadi penentu apakah bajaj bisa berkelanjutan atau tidak di Semarang.
“Dilihat saja dari animo masyarakat. Kalau pengguna merasa terbantu dan happy, berarti ada peluang. Tapi kalau justru menambah masalah, harus dievaluasi,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila