Menurut keterangannya, sebanyak 76 kepala keluarga menggantungkan hidup pada lahan tersebut.
“Ada 76 KK. Semuanya ahli waris: buyut, putu, anak. Enggak ada orang lain, saya pasti pertahankan. Jangan sampai tanah itu orang lain kuasai. Sampai kapanpun, siapapun yang mau melawan, saya lawan,” tegasnya.
Lebih jauh, Ropi’i menyebut ada tekanan lain yang warga terima, termasuk tuduhan yang menunjukkan bahwa ia adalah provokator.
Tak hanya itu, pihaknya juga mengaku pelaporan tersebut membuat proses penyelesaian konflik semakin jauh dari ruang dialog.
“Saya dianggap promotor, penggerak, provokator. Mbak Trismina dianggap ketua, dianggap menggerakkan warga. Saya minta penghentian penyelidikan, tapi belum ada jawaban. Makanya saya aksi,” katanya.
BACA JUGA: Hama Kera Liar Mengganas, Petani di Dua Desa Bandungan Merugi Ratusan Juta
Ia menambahkan, sejauh ini belum pernah ada komunikasi langsung antara kelompok tani dengan pihak PT Soekarli.
“Belum pernah, adanya cuma kepala desa, lawyer-nya, sama polisi. Itu yang saya enggak sukai. Hukum Indonesia itu kalau sidang pengadilan saya menang. Tapi kasasi, banding, PK, saya kalah,” ujarnya.
Ropi’i juga mengaku bahwa hingga kini tidak ada mediasi yang pemerintah daerah maupun pihak perusahaan fasilitasi.
“Belum ada, adanya cuma intimidasi, surat panggilan, ancaman. Mediasi enggak pernah ada. Adanya cuma lawyer–polisi–lawyer–polisi. Saya enggak senang. Tanah itu mau orang-orang yang tidak bertanggung jawab kuasai,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila













