“Setelah diskusi, kami menyimpulkan itu meteor yang jatuh, meski masih dugaan awal. Ini tetap perlu penelitian lebih lanjut,” tambahnya.
Perlu peralatan khusus untuk pastikan itu meteor atau sampah antariksa
Syaiful menuturkan, untuk memastikan apakah benda tersebut benar meteor atau justru sampah antariksa, perlu pengamatan dengan teknik dan peralatan khusus. Salah satu pembeda utama ialah kecepatan geraknya.
“Karena meteor adalah benda langit yang memasuki atmosfer bumi, kecepatannya sangat tinggi. Maka butuh teleskop dan alat khusus untuk mengikuti pergerakan cepat itu,” ungkapnya.
Benda langit seperti bintang, lanjutnya, relatif terlihat tetap di langit karena yang bergerak adalah bumi. Sedangkan objek seperti meteor atau NEO (Near Earth Object) bergerak sangat cepat sehingga memerlukan teknik observasi yang lebih rumit.
“Tidak banyak observatorium yang punya peralatan intens untuk pengamatan objek seperti ini,” ujarnya.
Selain kecepatan, suhu permukaan objek juga menjadi penanda penting. Melalui pengamatan dengan filter inframerah, Syaiful menjelaskan para astronom bisa mengidentifikasi kandungan material dari warna pancaran cahaya saat benda terbakar di atmosfer.
“Dari karakter warna, kita bisa lihat konten materialnya. Kalau warnanya biru, merah, atau oranye, itu punya makna berbeda,” jelasnya.
Lebih jauh, perbedaan lain yang mencolok terletak pada lintasan dan sifat materialnya. Syaiful menuturkan, lintasan meteor biasanya melengkung tajam akibat interaksi dengan atmosfer, sementara sampah antariksa cenderung menyebar dan stabil karena bentuknya berupa logam atau komponen buatan manusia.
“Kalau material bekas satelit rata-rata logam. Itu juga memengaruhi warna pancaran cahayanya, cenderung tetap. Sementara meteor dari bebatuan luar angkasa punya karakter berbeda,” papar Syaiful.
Karena itu, batu hitam pekat yang warga Jatilaba temukan masih perlu pengujian secara ilmiah. Pemeriksaan laboratorium akan membantu memastikan apakah benda tersebut benar meteor atau justru logam sisa satelit yang terbakar saat memasuki atmosfer.
“Prinsipnya, dugaan kuat itu meteor. Tapi kita tidak bisa menyimpulkan 100 persen tanpa penelitian lanjutan,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi