“Misalnya, landfill-nya belum sempurna. Karena yang diminta itu controlled landfill atau sanitary landfill. Kemudian mungkin ada syarat-syarat lain yang ditetapkan,” beber Widi.
Sulit bangun TPA di Pekalongan, lahan untuk pembuangan sampah tidak representatif
Widi mengungkap, pembangunan TPA di Kota Pekalongan sulit terealisasi. Meskipun, keberadaan TPA dan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) memang perlu untuk penampungan serta pengolahan sampah di wilayah perkotaan yang tidak memiliki lahan.
“Kota Pekalongan ini tidak memiliki lahan representatif untuk TPA atau TPST,” ucap Widi.
Widi menjelaskan, syarat pembangunan TPST ialah harus berjarak minimal 500 meter dari permukiman warga. Sementara membangun TPA mesti setidaknya satu kilometer dari permukiman masyarakat.
“Sehingga sulit kalau di Kota Pekalongan. Upaya ke depan yang perlu dilakukan adalah dengan tempat pengolahan sampah, bisa dengan RDF (Refuse Derived Fuel) atau bisa dengan komposter, misalnya,” kata dia.
BACA JUGA: Ingin Kurangi Beban TPA, DLHK Jawa Tengah Targetkan 50 Desa Mandiri Sampah Baru pada 2025
Jateng punya 46 TPA, di antaranya masih pakai metode open dumping
Widi menuturkan bahwa Jateng memiliki 46 TPA. Namun, beberapa di antaranya masih menerapkan open dumping. Ia menyebut metode pembuangan sampah akhir dengan metode open dumping sudah tidak direkomendasikan karena menimbulkan dampak buruk pada lingkungan.
“Jadi semestinya menerapkan controlled landfill atau sanitary landfill. Kalau controlled landfill, sampah masuk ke TPA, kemudian berlanjut pengurukan dengan tanah, sehingga tidak ada sampah terbuka dan tidak terolah dengan baik,” ucapnya.
Sementara itu, ia menilai metode sanitary landfill jauh lebih baik ketimbang controlled landfill.
“Sanitary landfill ada pengolahan lanjutan. Ada pengolahan limbah, ada penutupan lahan, ada pengolahan gas, penangkapan gas, dan sebagainya,” pungkas Widi. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi