Saking banyaknya nama Bambang di sekolahnya, setiap anak bernama Bambang, menurut Pacul, mendapat julukan yang berbeda.
“Ada yang namanya Bambang Fosil, aslinya Bambang Sugiyarto, dipanggil Bambang Fosil karena wajahnya kaya phitencatrophus,” ujarnya.
Julukan Pacul itu pun merupakan pemberian teman dekat yang kerap bermain ke rumahnya. Besar dari keluarga seorang petani, benda pacul pun sering teman-teman Pacul lihat di rumahnya.
“Kakek saya petani, kalau berangkat dari sawah, ada sumur, itu kemudian paculnya cuci di situ. Waktu kawan pada datang ke desa melihat itu, buku saya semua dia gambari pacul. Dia memang arsitek ITB suka gambar, dipanggilah kemudian saya Bambang Pacul,” bebernya.
Tetap pertahankan nama Pacul hingga saat ini
Pemberian nama Pacul itu pun ia terima dengan sangat baik. Ia tak menganggap pacul sebagai benda yang hanya berfungsi untuk bercocok tanam saja. Melainkan, Bambang Pacul meyakini benda itu penuh dengan filosofi Jawa.
“Nama itu saya pertahankan, karena saya dari desa dan pacul itu sendiri ada filosofinya. Pacul itu ada bagian-bagiannya, doran, tandhing, bawak, dan landhep,” jelasnya.
Doran, lanjut Pacul, memiliki arti ‘donga marang pengeran’. Filosofi ini ia wujudkan dengan selalu berpegang kepada Tuhan.
“Bawak itu obahing awak, kalau doa tidak bisa hanya doa saja, harus badan bergerak. Korea harus bergerak, kalau tidak mau gerak, ya tidak sehat, berdoa tok tidak sehat,” jelasnya.
Begitu juga dengan komponen pacul lainnya seperti tandhing dan landhep yang menurutnya juga memiliki filosofi tersendiri.
“Sebelum mau mencangkul ke arah mana, harus diskusi dulu, selalu berdoa kepada Tuhan, ketika mau bekerja, diskusi bersama-sama, badan harus bergerak,“ tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi