Lebih jauh, Beawiharta menekankan pentingnya konsistensi dalam memotret objek tertentu untuk menghasilkan arsip visual jangka panjang.
“Contoh sederhana, memotret kereta hari ini lalu membandingkannya 10 atau 20 tahun ke depan. Dahulu penumpang berdesakan dengan suasana panas, kini lebih nyaman dan modern. Perubahan itu bisa terekam jika sejak awal kita sudah memetakan detail yang harus di dokumentasikan,” ujarnya.
Diskusi ini harapannya dapat memberi perspektif baru bagi jurnalis, fotografer, akademisi, mahasiswa, hingga masyarakat umum tentang peran fotografi sebagai medium memori kolektif.
Foto bukan hanya hasil tangkapan kamera, melainkan juga cermin perubahan sosial dan penanda perjalanan zaman.
Sekretaris PFI Semarang, Aprillio Akbar, menegaskan komitmen organisasinya dalam menghadirkan ruang edukasi fotografi.
“Lewat Semarang Punya Cerita, kami ingin memperkuat kapasitas pewarta foto, memperluas wawasan publik. Sekaligus menegaskan fotografi sebagai sarana dokumentasi sejarah dan refleksi sosial,” jelasnya.
Lebih dari sekadar forum diskusi, inisiatif PFI Semarang ini menekankan bahwa fotografi memiliki nilai estetis sekaligus historis. Setiap karya foto dapat menjadi catatan penting perjalanan masyarakat dan bangsa, serta di wariskan lintas generasi sebagai penanda zaman dan penguat kesadaran sosial. (*)
Editor: Elly Amaliyah