“Kalau semua tergusur, kasihan anak cucu nanti mau tinggal di mana. Madin pun terancam tutup,” tambahnya.
Kuasa Hukum, Dewang Purnama Putra, menjelaskan persoalan ini berawal sejak tahun 1984. Putusan pengadilan tingkat kasasi keluar pada 1995, dan dikuatkan hingga peninjauan kembali (PK) pada 2009. “Sebenarnya ini sengketa waris, tapi ditarik ke ranah peradilan umum. Putusan memang sudah inkrah, kami akui. Namun ada sisi kemanusiaan dan adab yang mestinya dijunjung,” ujarnya.
Dewang menegaskan, sebagian besar lahan yang disengketakan digunakan untuk fasilitas pendidikan agama.
“Di sini ada madrasah, tempat anak-anak mengaji. Bahkan akses menuju tempat ibadah pun sudah Kiai Murodi berikan tanpa pungutan biaya. Jadi kalau semua di robohkan, yang terdampak bukan hanya keluarga, tapi juga masyarakat sekitar,” imbuhnya.
Dalam upaya penyelesaian, lanjutnya, pengadilan sebelumnya sudah menyarankan agar pihak keluarga menempuh mediasi. Namun, pihak lawan tetap bersikeras mengeksekusi penuh lahan seluas 3.100 meter tersebut.
BACA JUGA: Ricuh, Eksekusi Lahan Normalisasi Sungai Beringin Gagal
“Kami minta pengadilan tidak hanya menegakkan keadilan lewat kertas hukum, tapi juga mengedepankan kemanusiaan dan adab. Jangan sampai seorang ulama, kiai kampung, mendapat perlakuan tanpa rasa hormat,” tambahnya.
Penolakan eksekusi juga datang dari kalangan santri. Perwakilan santri, Gus Hafid Iwan Cahyono, menilai kasus ini tidak hanya persoalan tanah. Mlainkan menyangkut keberlangsungan pendidikan agama di wilayah tersebut.
“Romo Kyai Murodi adalah figur ulama tarekat. Santrinya ada di mana-mana. Kami hadir untuk mengawal beliau, karena di sini ada pusat pendidikan agama. Apakah tega jika tempat belajar anak-anak di runtuhkan?” tegasnya.
Menurut Gus Hafid, eksekusi yang memaksa ulama untuk meninggalkan kediamannya bisa memicu keresahan lebih luas. Ia menilai jika eksekusi ini berlanjut, dampaknya bisa merambah pada kiai-kiai lain jika ada kasus serupa.
“Maka, kami minta ada solusi kekeluargaan. Jangan pertontonkan konflik keluarga di hadapan masyarakat luas,” katanya.
Sejumlah santri dan warga pun ikut berkumpul di lokasi eksekusi sebagai bentuk solidaritas. Mereka berharap, pengadilan bersama pihak terkait dapat mencari jalan tengah yang tidak merugikan masyarakat, sekaligus tetap menghormati putusan hukum yang ada. (*)
Editor: Elly Amaliyah