Tak lama setelah itu, sang ibu meninggal dunia, meninggalkan luka, penyesalan, konflik, dan saling menyalahkan di antara keempat saudara tersebut.
BACA JUGA: 5 Alasan Mengapa Kamu Wajib Nonton Film Laura di Bioskop, Penuh Haru dan Tangis!
Dalam kekacauan ini, film ini mengangkat filosofi kintsugi dari Jepang—seni memperbaiki keramik yang retak dengan menggunakan emas, menjadikan pecahan-pecahan itu sebagai keindahan yang baru.
Filosofi ini menjadi simbol pengingat akan keluarga yang retak, yang perlahan harus disatukan kembali setelah kepergian sang ibu. Mereka akhirnya menyadari betapa pentingnya saling mendukung dan memperbaiki kembali ikatan kasih yang sempat pudar.
Sutradara Rudi Soedjarwo berhasil menyampaikan sisi emosional yang mendalam dalam Bila Esok Ibu Tiada, terutama dalam menggambarkan kesedihan, penyesalan, dan kehilangan sosok ibu.
Naskah film ini merupakan adaptasi dari novel karya Nagiga Nuy Ayati, yang mengangkat isu-isu universal seputar keluarga, pengorbanan, dan kesadaran yang sering datang terlambat. (*)