Sebagai contoh, ada kasus pada tahun 2011 yang melibatkan seorang anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera yang tertangkap melihat video asusila di ponselnya.
Kontroversi pun timbul karena anggota DPR yang seharusnya menjadi contoh justru terlibat dalam perilaku semacam itu. Meskipun ia mengundurkan diri, belum ada kesepakatan publik yang tegas mengenai apakah menonton video porno merupakan perbuatan tercela.
Perdebatan pun muncul mengenai apakah norma dan nilai pada tahun 2011 masih berlaku pada tahun 2024. Jika ingin memastikan, seseorang dapat mengajukan fatwa atau meminta pendapat Mahkamah Agung mengenai status hukum menonton video porno. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan moralitas calon presiden.
Dalam menghadapi polemik ini, perlu adanya pembahasan dan penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah menonton video porno dapat tergolong sebagai perbuatan tercela.
Keputusan akhirnya akan mempengaruhi syarat calon presiden di masa depan. Konsensus dan pemahaman akan norma dan nilai dalam masyarakat perlu ada pembaruan untuk mencerminkan perkembangan sosial dan moralitas zaman sekarang. (*)