Paradigma Kasus Kekerasan Anak
Harjanto menyerukan agar masyarakat tidak hanya terpaku pada narasi kegelapan dan keputusasaan, melainkan mengambil langkah konkret.
Ketua Perkoempoelan Boen Hian Tong ini menekankan pentingnya menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan. Ia memberikan seruan kepada masyarakat untuk bergerak melakukan sesuatu, sekecil apapun.
“Kita harus mulai dari simbol-simbol, tapi juga dengan aksi nyata. Kita advokasi para korban. Meskipun hasilnya tidak selalu ideal. Kadang korban memilih berdamai karena alasan finansial tapi minimal kita kirim pesan bahwa ada harapan dan ada jalan hukum,” tuturnya.
BACA JUGA: Soroti Kasus Pelecehan dan Kekerasan Seksual, Pelita Semarang: Banyak Terjadi di Lingkup Agama
Harjanto menegaskan pentingnya mengubah paradigma masyarakat terhadap korban kekerasan, terutama kekerasan seksual. Ia menolak anggapan bahwa korban harus menyembunyikan luka demi menjaga ‘nama baik’.
“Kita selalu katakan, abaikan nama baik kalau kamu ingin bicara. Jika kamu diam, maka kamu beri ruang pelaku untuk cari korban berikutnya. Itu tidak akan pernah selesai. Jadi, korban bukan aib. Yang memalukan itu pelakunya,” tegas Harjanto.
Lebih lanjut, ia mendorong agar masyarakat lebih berempati, bukan malah merendahkan korban.
“Yang merendahkan orang lemah itu bukan orang kuat. Harusnya kita bersimpati dan berempati,” katanya.
Pernyataan Harjanto ini menegaskan bahwa perubahan tidak bisa hanya diserahkan pada negara atau lembaga hukum, tapi juga membutuhkan keberanian dari masyarakat untuk mengubah cara pandang dan membangun empati.
Bentuk kepedulian Boen Hian Tong terhadap korban kekerasan juga terlihat ketika peletakan sinci ketiga untuk mengenang dan menyuarakan kepedulian terhadap anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Mulai dari kasus kekerasan anak dalam rumah tangga maupun institusi pendidikan.
Harapannya, peletakan sinci menjadi titik kesadaran kolektif untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan manusiawi, terutama bagi anak-anak dan perempuan, kelompok yang paling rentan namun juga yang paling sering dibungkam. (*)
Editor: Andi Naga Wulan.