“Waktu itu aku ga kasih pegawai freelance, aku tetep kasih mereka salary per bulan ada atau engga ada tamu,” jelasnya.
Sejak satu tahun setelah melakukan rebranding, Tya mengaku semakin hari usahanya semakin ramai pengunjung yang ingin mencoba spa ataupun salonnya. Ia mengklaim bahwa marketing mouth by mouth atau getok tular sangatlah berpengaruh.
“Kita di sini kalau ada tamu yang dateng bener-bener nge-treat sebaik mungkin, mengutamakan pelayanan lah pokoknya. Otomatis dia (tamu) bakal rekomendasiin salon ini juga kan ke temen-temennya yang lain, itu berpengaruh banget pokoknya,” tutur Tya.
Meauty Salon & Spa, Buah Bangkit dari Keterpurukan
Menyinggung soal tantangan mengelola salon di usia muda, Tya bercerita jika sosoknya menjadikan keterpurukannya sebagai momen untuk bangkit.
“Aku ga punya basic salon awalnya. Jadi selain pandemi kemarin, aku terpuruk lah, karena masalah hati lah ya. Daripada galau berkepanjangan, mending waktunya aku pake untuk belajar skill baru. Sampai akhirnya aku belajar dan jadilah salon ini,” ungkapnya.
Ia mengaku bahwa butuh waktu sekitar satu bulan baginya untuk belajar skill yang ia perlukan dalam mengelola salon.
Istimewanya, salon yang ia kelola memperhatikan bahan-bahan dari produk yang ia gunakan. Sebab pengunjung mancanegara sangat memperhatikan ingredients dari setiap produk yang digunakan.
“Kalau bule itu tentu suka yang less chemical ya, jadi ya kalau creambath misalnya kita pakai aloevera, baru nantinya pakai sampo,” jelas Tya.
Baginya, pantang menyerah dan selalu berorientasi pada pengunjung merupakan poin penting dalam membangkitkan bisnis pasca pandemi melanda. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi