SEMARANG, beritajateng.tv – Provinsi Jawa Tengah termasuk salah satu penghasil beras terbesar se-Indonesia. Mengutip data, Jateng lumbung padi dan berhasil menduduki posisi kedua setelah Jawa Timur. Yakni dengan potensi produksi padi sebesar 3.887,54 ribu ton selama periode Januari-April 2023.
Tak heran, provinsi ini mendapat julukan Jateng lumbung padi. Namun, julukan tersebut tak lantas membuat Jateng mampu mengontrol harga beras di pasaran.
Menanggapi hal ini, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Undip, Esther Sri Astuti angkat bicara. Ia menilai, Jateng perlu membenahi sisi perdagangan, khususnya dalam produksi beras.
“Saya rasa untuk provinsi Jawa Tengah itu untuk mempertahankan harga sudah bagus. Tapi misal untuk kasus beras ya, beras kan Jateng lumbung padi, tetapi harganya itu tidak bisa mengontrol. Jateng tidak bisa mengontrol harga,” ucap Esther kepada beritajateng.tv di Novotel Semarang, Jumat, 14 Juli 2023.
BACA JUGA: Panen Raya 614.946 Ton Padi, Kabupaten Demak Salah Satu Penyangga Pangan Nasional
Ia mengatakan, begitu musim panen tiba, beras-beras tersebut langsung diangkut ke Ibu Kota. Hal itulah yang ia soroti. Sebab, Jateng tak bisa menjadi provinsi yang berhak menentukan harga meskipun dapat memproduksi beras.
“Pada saat panen, itu begitu panen sudah ada truk-truk ya yang mengangkut ke Jakarta. Jadi harga itu penentunya Jakarta, dari konsumen, dari buyer-buyer beras yang di Jawa Tengah,” tegasnya.
“Harusnya sebagai produsen kan harus menjadi price control, ini malah jadi price followers, karena apa? Ya itu tadi. Kejadian kaya misalnya sudah begitu panen langsung angkut ke Jakarta,” imbuh Esther.
Jateng lumbung padi, perlu ada tempat menampung hasil produksi
Alih-alih langsung didistribusikan ke Jakarta, Esther meminta pemerintah untuk menampung hasil produksi padi yang sangat besar dari Jateng.