SEMARANG, beritajateng.tv – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah merespons kasus dugaan kekerasaan atau penganiayaan seorang santri insial MB, di salah satu pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang.
Kasus penganiayaan maupun kekerasan seksual bukan kali pertama terjadi di lingkungan pesantren.
Kepala DP3AP2KB Jawa Tengah, Ema Rachmawati, mengungkap, belum ada Perda maupun Pergub terkait pesantren yang secara eksplisit menyebut terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di pesantren. Hal itu Ema Ungkap saat beritajateng.tv hubungi via WhatsApp Call, Jumat, 10 Oktober 2025 sore.
“Kalau perda dan pergub pesantren memang tidak secara eksplisit menyebut pencegahan dan penanganan kekerasan. Belum, karena kemarin Pak Wagub meminta kami untuk bisa memasukkan amanat pencegahan dan kekerasan itu, tapi terkendala aturan yang membatasi penambahan regulasi daerah jika substansinya sudah diatur dalam peraturan pusat,” ujarnya.
Ema menjelaskan, proses penyusunan perda terkendala aturan yang membatasi penambahan regulasi di tingkat daerah jika substansinya sudah diatur dalam peraturan pusat. Akibatnya, kata Ema, upaya memasukkan klausul khusus tentang perlindungan santri sulit dilakukan di dalam perda pesantren yang sudah ada.
“Jadi kemarin itu agak kesulitan kita untuk memasukkan masalah pencegahan dan penanganan kekerasan di pesantren di perda yang sudah ada atau di pergubnya,” jelasnya.
BACA JUGA: Dugaan Penganiayaan di RSI Sultan Agung, Unissula Beri Sanksi 6 Bulan ke Dosen Pelaku Kekerasan Verbal
Meski tidak ada regulasi spesifik, Ema menegaskan aturan hukum perlindungan anak tetap bisa untuk melindungi santri. Di Jawa Tengah, sudah ada Perda Penyelenggaraan Perlindungan Anak atau Perda Nomor 4 Tahun 2022 yang berlaku untuk semua anak tanpa terkecuali.
“Siapapun yang melakukan kekerasan itu kan terkena undang-undang. Jadi ada atau tidak ada aturan khusus untuk pesantren, kita tetap menggunakan undang-undang perlindungan anak dan perda perlindungan anak yang sudah ada,” ujarnya.
Selain itu, tutur Ema, Kementerian Agama (Kemenag) juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah berbasis agama.
“Jadi sebenarnya sudah cukup aturan yang ada itu, tidak harus membuat aturan tersendiri lagi,” tambahnya.
Ema ungkap sejumlah aturan pondok yang bertentangan dengan perlindungan anak
Lebih jauh, Ema mengakui tantangan terbesar bukan semata soal regulasi, melainkan praktik keseharian di dalam pondok pesantren itu sendiri. Ia menilai, budaya takzim atau patuh kepada kiai serta lemahnya pengawasan kerap menjadi celah terjadinya kekerasan.
“Kalau anak segitu banyak pengawasnya kurang. Kalau pengawasnya pergi, kadang kan enggak tahu anak-anak ngapain, sehingga kejadian baru ketahuan belakangan,” jelasnya.
Ia menyebut, sebagian pondok pesantren memiliki tata tertib internal yang justru bertentangan dengan prinsip perlindungan anak. Salah satu yang ia pernah termui ialah aturan santri yang dilarang membeli atau menggunakan pembalut saatu menstruasi.