“Contohnya begini, menstruasi itu mau beli pembalut aja enggak boleh, itu teranggap melanggar. Terus saya tanya, kalau enggak pakai pembalut pakai apa? Ternyata pakai handuk. Lah, itu ada itu aturannya,” ujarnya.
Ia juga menyoroti aturan aneh lainnya yang ia temui, yakni larangan bagi santri yang sakit untuk berobat ke luar pondok, dan sejumlah tata tertib lainnya yang mengandung unsur kekerasan atau pelanggaran hak anak.
“Ketika sakit itu dia kan ke dokter di luar pondok, nah itu dianggap melanggar. Aturan-aturan pondok itu kan beda-beda, masing-masing pondok beda. Ada yang mungkin memang aturannya mengandung hal-hal yang justru melanggar undang-undang, yang saya sebutkan tadi itu nyata kok,” tegas dia.
Ema menegaskan, pelaku kekerasan dapat berasal dari siapa pun, termasuk tokoh agama. Oleh sebab itu, perlindungan anak seharusnya tidak tunduk pada hierarki internal pondok.
“Pelaku itu bisa siapa saja. Siapapun dia, bisa dikenai undang-undang,” tegasnya.
‘Jiwa korsa’ di lingkup pesantren disebut sulitkan proses penanganan kasus
Ema juga mengakui, posisi dan kharisma kiai di lingkungan pondok pesantren menjadi tantangan tersendiri dalam proses penanganan kasus.
Struktur sosial yang kuat di dalam pondok pesantren sering kali menyulitkan aparat atau lembaga perlindungan masuk ke dalam kasus secara mendalam.
“Hambatannya itu ya, korsanya itu kuat banget. Itu yang agak menyulitkan kita kalau mau masuk mendetailkan persoalan yang terjadi. Satu kasus aja, kalau kita mau mendetailkan banget, itu susah,” ujarnya.
Ia mengaku pernah mengalami sendiri kesulitan menembus lingkaran internal pondok pesantren ketika menangani kasus kekerasan.
“Dulu waktu saya masih jadi staf, menangani itu enggak mudah banget. Menanyakan ke kanan-kirinya saja bungkam semua,” kenangnya.
BACA JUGA: Kecam Aksi Kekerasan di RSI Sultan Agung, Ketua IDI Jateng Imbau Dokter Utamakan Keamanan
Untuk mendorong pencegahan, Ema menyebut Kemenag RI telah membentuk P2KP (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Pondok Pesantren) dan melakukan pelatihan ke pondok-pondok besar di Jawa Tengah. Namun jumlah pondok yang mencapai 10 ribu membuat pengawasan tak mudah.
“Yang terdaftar itu sekitar 5.500-an pondok, padahal jumlahnya sekitar 10.000-an. Jadi Kemenag sendiri enggak bisa mengawasi semuanya,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila