Namun demikian, Pupung menilai bahwa hal tersebut merupakan hal yang lumrah. Karena dibutuhkan usaha lebih untuk mengulik isu pelanggaran HAM di masa saat ini.
“Kalau ngga tau, wajar, karena pengetahuan itu tidak didistribusikan. Ada yang tau banyak karena memang senang membaca, tapi ada juga yang baru mendengar ada peristiwa tertentu, itu menurutku menarik,” sambungnya.
Kenalkan pelanggaran HAM melalui medium yang lebih menarik
Hal tersebutlah yang kemudian mendasari berdirinya Komunitas Semai. Melalui beragam media sosial, mereka mencoba mengimplementasikan kisah-kisah pelanggaran HAM menjadi lebih menarik.
“Mengingat kasus-kasus ini terjadi di masa lampau, bagaimana pengetahuannya bisa tetap relate dengan temen-teman yang lahir setelah tahun 2000, kami berusaha mengimplementasikan cerita tersebut melalui medium yang lebih seni,” ucapnya.
BACA JUGA: Peluang Intoleransi di Jateng Capai 26 Persen, Kesbangpol Gelar FGD Cegah Paham Ekstrimisme
Sesuai namanya, lanjut Pupung, Komunitas Semai memposisikan diri sedang menyemai. Atau menebar benih-benih pengetahuan.
Harapannya, pengetahuan generasi muda terhadap pelanggaran HAM dapat terus bertumbuh. Bahkan menumbuhkan benih-benih baru di kemudian hari. (*)
Editor: Farah Nazila