SEMARANG, beritajateng.tv – Pameran “Ketika Api Menyala di Semarang” jadi pengingat pentingnya menghidupkan kembali sejarah pertempuran pertama antara militer Indonesia dan asing di masa Revolusi Nasional.
Seniman sekaligus kurator pameran “Ketika Api Menyala di Semarang”, Kesit Wijanarko, mendorong Pemerintah Kota Semarang untuk melakukan riset sejarah yang lebih mendalam terkait peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Menurutnya, peristiwa yang terjadi pada Oktober 1945 itu merupakan pertarungan pertama antara militer resmi Indonesia dengan kekuatan asing, dan menjadi tonggak penting dalam sejarah revolusi nasional.
“Kalau ditanya pertempuran pertama kali antara militer resmi Indonesia melawan militer asing terjadi di mana? Ya di Semarang. Tepatnya dalam peristiwa Pertempuran Lima Hari,” ungkap Kesit saat pembukaan pameran di Rumah Pohan Kota Lama Semarang pada Kamis, 9 Oktober 2025.
BACA JUGA: Pameran “Ketika Api Menyala di Semarang”, Riwayat Pertempuran 1945 dalam Arsip dan Visual Autentik
Kesit menegaskan bahwa peristiwa lima hari di Semarang tidak hanya menjadi bagian dari sejarah lokal, tetapi juga memiliki posisi strategis dalam perjalanan bangsa menuju kemerdekaan penuh. Karena itu, ia menilai sudah saatnya Pemkot Semarang mengambil peran aktif untuk mengkaji ulang peristiwa tersebut secara komprehensif dan menyusun literatur resmi yang bisa diakses masyarakat luas.
“Saya pikir pemerintah Kota Semarang perlu mulai melakukan risalah yang lebih mendalam dan menerbitkan literatur resmi terkait kejadian tersebut. Tujuannya supaya publik Semarang sendiri bisa memahami dengan benar arti penting peristiwa itu,” ujarnya.
Minim Kajian Lokal, Literatur Asing Justru Lebih Lengkap
Kesit menyoroti bahwa hingga kini, kajian akademis tentang Pertempuran Lima Hari di Semarang masih sangat minim di tingkat lokal. Ironisnya, beberapa penelitian mendalam justru datang dari akademisi luar negeri.
“Yang banyak justru literatur dari luar. Kajian luar negeri ada, tapi sifatnya akademik dan tidak ramah baca bagi publik umum,” kata Kesit.
Ia menambahkan, sumber-sumber yang ada di dalam negeri pun masih terbatas dan belum sepenuhnya tervalidasi. Salah satunya buku “Sejarah Pertempuran 5 Hari di Semarang” terbitan Suara Merdeka tahun 1977.
Menurut Kesit, buku itu masih terdominasi oleh narasi tutur atau kesaksian personal, sehingga perlu ada konfirmasi ulang dengan data dan dokumen sejarah lainnya.