“Maksud dari acara ini bukan untuk mencari kebenaran, tapi supaya Mei 1998 jangan sampai dilupakan, dan kita bareng-bareng meracik kebersamaan ini, mengikis kebencian,” katanya.
Lebih jelas, tanpa bermaksud mengecilkan peristiwa 1998, Harjanto mengungkapkan jika peristiwa serupa sering terjadi di berbagai negara, Seperti Rwanda, Uganda, hingga Sri Lanka.
BACA JUGA: Peringati G30S/PKI, Mahasiswa UIN Walisongo Gelar Aksi Refleksi
Menurutnya, peristiwa semacam ini bisa terjadi di mana pun. Persekusi atas nama agama, ras, dan suku terjadi atas dasar perebutan kekuasaan.
“Tapi peristiwa 1998 demikian menyakitkan, tapi sebenarnya jangan sampai yang dipelihara dalam hati adalah dendam dan benci, kalau mengingat sedih enggak masalah, nangis enggak masalah, jangan sampai dendam,” katanya.
Oleh karenanya, ia mengajak orang Tionghoa, khususnya para saksi yang mengalami langsung peristiwa 1998, untuk dapat mengambil hikmah dari kejadian tersebut. Sehingga, kebersamaan antarwarga negara dapat terajut kembali.
“Saya tidak bisa menyalahkan, tapi di tengah kekacauan selalu ada orang-orang baik. Artinya, orang baik lebih banyak daripada yang jahat, pelaku saat itu korban provokasi,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi