“Saya menangkap ada kesamaan dan kebedaan di dalamnya. Kesamaan antar keempatnya yang pertama terletak pada jenis atau pilihan objek yang menjadi ekspresi bahasa dalam karya-karyanya. Objek yang mereka pilih adalah menarasikan sejarah diri, tuntutan, dan harapan, atau kehendak individu pelukisnya sendiri, bukan tentang atau dari orang lain dan bukan dokumentasi realitas di luar diri mereka,” lanjutnya.
Menyatukan Perbedaan dan Persamaan Keempatnya
Selain persamaan, tentu keempatnya memiliki perbedaan. Menurut Mikke, Tan Markaban menganggap melukis sebagai pelepasan terapi diri atas berbagai gejala yang melingkupi dirinya sendiri seperti kecemasan, kegalauan, dan kegembiraan. Sedangkan Darma Lungit lebih menyuguhkan karya tentang suasana diri di tengah kesadaran spiritual. Yaitu sikap-sikap religiusitas di dalam jiwanya.
Lanjut Mikke, Mona Palma membawa lukisan-lukisan yang merupakan tiruan alam yang ia tuangkan dengan gaya realistrik. Terakhir, Moses Foresto memilih untuk menyajikan lukisan dengan konsep universalitas atau keberagaman visual, mulai dari ketiadaan konvensi, anjuran, konsepsi, atau batasan dalam berkarya.
“Dari perbedaan ide dan cara ungkap visual keempatnya, menjadikan lukisan memiliki makna yang berlapis-lapis, multi-makna dan multi fungsi,” tandas Mikke.
BACA JUGA: Pameran Seni Rupa FKY 2023 Gandeng 30 Perupa, Angkat Tema Ketahanan Pangan
Salah satu pengunjung asal UIN Walisongo Semarang, Rizka, mengaku senang dengan pameran ini. Sebagai mahasiswa luar kota yang sedang berkuliah di Semarang, ia berharap pameran seni seperti ini bisa semakin banyak ada, khususnya di sekitar di kawasan Kota Lama.
“Sebenarnya baru tau ada gallery seni di Kota Lama, soalnya dari luar kaya coffeshop. De Warisan bisa jadi destinasi wisata karena tempatnya instagramable banget, jadi lukisan-lukisan kaya gini bisa dinikmati lebih banyak pengunjung,” katanya.(*)