“Kenapa di SD, selain menghasilkan data, kita juga sekaligus bisa membina pengetahuan dan kesadaran anak-anak mengenai bencana sedini mungkin. Sehingga anak anak bisa tahu, kalau hujan besar dampaknya banjir, juga daerah berpotensi longsor sehingga harus waspada,” imbuhnya.
Respon Cepat Berbasis IT
Untuk memenuhi kebutuhan informasi yang cepat, kata dia, BRIN melakukan respon cepat dengan membuat alat berbasis IT. Hal ini agar alat tersebut bisa memberikan peringatan dini terhadap adanya banjir maupun longsor.
Kemudian, lanjutnya, untuk analisis longsor BRIN mendeteksi dari tingkat kejenuhan tanah akibat curah hujan.
“Selama ini orang lihat potensi longsor hanya dari gerakan tanah. Dengan alat berbasis sensor ini, bisa menganalisis kelembaban tanah. Longsor itu kan disebabkan dari tanah jenuh akibat hujan berhari-hari, kemudian tanah bergerak,” bebernya.
“Kebanyak orang menduga longsor dari gerakan. Kalau dari gerakan mungkin waktunya terlalu cepat, sehingga terlambat memberikan informasi. Tapi kami melihat dari tingkat kejenuhan tanah. Saat dalam kondisi itu, akan ada peringatan agar ada evakuasi,” imbuh dia.
BRIN berencana menerapkan ModAthus (alat takar hujan sementara) ini di 20 titik sekolah dasar di Kota Semarang.
“Penerapan alat ini sebenarnya semakin banyak semakin bagus, namun kami menemukan 20 titik yang lokasinya mewakili kebutuhan curah hujan. Hari ini baru 4, selanjutnya akan menyusul secara bertahap,” kata dia.
Sementara itu, Walikota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, setelah meresmikan Co-Working Space BRIN pada 20 Mei lalu, kini saatnya Pemkot mengimplementasikan hasil riset tersebut.
“Tak hanya peresmian, tapi bagi saya yang penting adalah keberlanjutan. Seperti implementasi uji emisi dengan menggandeng Ojol,” kata Mbak Ita sapaannya, Sabtu (1/6/2024).
Selain itu, lanjut Mbak Ita, ada alat pendeteksi banjir, longsor dan curah hujan. ModAthus bisa menjadi salah satu alat yang bisa membantu kota Semarang, dalam menganalisis dan mendeteksi banjir dan longsor. (*)
Editor: Elly Amaliyah