Pertumbuhan ini mencerminkan kepercayaan yang semakin tinggi terhadap PayLater sebagai solusi keuangan harian yang fleksibel.
Menariknya, proporsi pengguna yang memilih tenor satu bulan dengan fasilitas bunga 0 perse juga meningkat 38 persen menandakan pergeseran perilaku yang memosisikan paylater sebagai metode pembayaran yang praktis dan terencana, bukan semata layanan utang jangka panjang.
“Paylater tidak hanya untuk yang nilai tinggi, tapi sudah di pakai sehari-hari. Beli kosmetik, pulsa, supermarket, belanjanya pakai Kredivo. Jadi, potensi besar. Masyarakat jauh lebih familiar dengan metode pembayaran ini,” papar Indina.
Fokus Kembangkan Kredivo di Lima Kota
Dia menyebut, sejumlah kota menjadi fokus untuk mengembangkan Kredivo, antara lai.
Manado, Makasar, Medan, Palembang, dan Semarang.
Ekspansi ke daerah bukan sekadar strategi bisnis, tetapi juga bagian dari komitmen untuk membangun literasi keuangan digital yang merata. Ini sejalan dengan upaya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendorong peningkatan literasi keuangan secara inklusif di berbagai daerah.
“Kami melakukan edukasi literasi keuangan melalui generasi Djempolan. Kami juga kampanye bijak pakai paylater. Pemain atau calin pengguna perlu mencari tahu secara meluruh risikonya,” jelasnya.
Di balik tren positif penggunaan paylater, menurut Indina, masih terdapat berbagai tantangan. Di antaranya miskonsepsi yang menyamakan paylater dengan pinjaman daring atau bahkan pinjol ilegal.
Minimnya pemahaman ini, termasuk soal hak dan kewajiban pengguna, kerap berujung pada keterlambatan bayar, skor SLIK yang buruk, hingga risiko terjebak pinjol ilegal.
Padahal, jika penggunaan yang bijak, paylater bisa menjadi alat bantu keuangan yang mendukung cash flow, menjaga daya beli, dan membangun riwayat kredit formal.
“Pesatnya pertumbuhan paylater di daerah membuktikan bahwa akses kredit digital yang terjangkau memang nyata. Literasi keuangan tetap jadi fondasi utama agar layanan ini tidak mereka salah artikan,” tandasnya. (*)
Editor: Elly Amaliyah