Tak hanya itu, para petani juga menyoroti situasi yang mereka anggap sebagai kemunduran dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di Jawa Tengah. Suara kritis dan upaya warga memperjuangkan ruang hidup justru berhadapan dengan proses hukum yang teranggap tidak berpihak kepada mereka.
Petani dan aktivis yang tergabung dalam Pagar Tani itu menilai, penggunaan instrumen hukum oleh sejumlah aktor dalam membatasi gerakan warga membuat kondisi demokrasi di daerah semakin mengkhawatirkan.
BACA JUGA: Protes ke Perhutani, Petani Hutan di Blora Tolak Pengelolaan Lahan dengan Skema Kawasan Khusus
Pengurus Kelompok Tani Kaula Alit Mandiri, Rofii, menuturkan alasan mereka menyampaikan unjuk rasa di depan Mapolda Jawa Tengah. Rofii meminta tanahnya dan puluhan petani lain di kembalikan.
“Hentikan lah penyelidikan, jangan sampai dikriminalkan. Tanah itu harus diselesaikan rampung, tanah itu hak kita. Saya sampai memperjuangkan seperti ini kan untuk meninggalkan ke anak cucu. Jangan sampai anak cucu itu ditinggali barang yang tidak benar, tidak merampas hak orang lain,” tegas Rofii.
Usai melangsungkan aksi unjuk rasanya di depan Mapolda Jawa Tengah, puluhan petani itu langsung bergerak menuju Gubernuran. (*)
Editor: Farah Nazila













