Pihaknya ingin penggunaan air tersebut sebagai alternatif terakhir yang dapat dipilih masyarakat. Sehingga, lanjut Boedya, masyarakat nantinya dapat memprioritaskan penggunaan air permukaan.
“Masyarakat itu sudah terlanjur menggunakan air tanah, sehingga agak repot ketika sudah mengandalkan itu. Padahal itu kan pilihan akhir agar ketersediaan air di masa depan itu dapat lanjut dan lestari,” ungkap Boedya.
BACA JUGA: Sebut BPBD Tak Boleh Kehabisan Anggaran Air Bersih, DPRD Semarang: Apa Hanya Menggantungkan CSR?
Boedya tak menampik masyarakat yang lebih memilih untuk menggunakan air tanah. Sebab, stigma air permukaan yang dikelola oleh PDAM sering kali mendapat pandangan kurang baik dari masyarakat.
“Air permukaan itu orientasinya lebih kepada irigasi pertanian, untuk irigasi saja dia punya masalag. Banyak lahan pertanian yang berebut air dengan pemompaan. Akhirnya mereka mulai menggunakan air tanah dengan alasan untuk mewujudkan ketahanan pangan, itu dilematis di sektor pertanian,” akunya.
Lebih lanjut, air baku untuk kebutuhan sehari-hari juga sering mendapat keluhan dari masyarakat. Tak ayal, lanjut Boedya, kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan air permukaan oleh PDAM juga ikut menurun. Hal itu yang membuat air tanah menjadi incaran masyarakat.
Sejauh ini, pihakya telah mengeluarkan ribuan izin pemanfaatan air tanah. Namun, Boedya menuturkan sebagian besar izin menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Adapun perizinan yang pihaknya pegang di wilayah Jateng mencakup wilayah Brebes, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Batang, Pemalang, Kendal, dan sebagian Semarang. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi