“Ini sebetulnya krisis, kita sudah krisis. Jadi negara tidak hadir. Ini kan bentuk bagaimana negara tidak mampu mengelola ya, termasuk juga aparat keamanannya. Tidak mampu untuk mengelola bagaimana terjadi satu krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap negara. Apa sih susahnya mereka turun para pemimpin itu seperti yang Sultan lakukan?” tegasnya.
Terlebih, kata dia, ada beberapa tuntutan dari massa aksi yang sebenarnya bisa pemerintah maupun aparat wujudkan tanpa proses panjang. Salah satunya adalah membebaskan beberapa demonstran yang tertangkap.
“Sebetulnya kan tuntutan itu ada beberapa yang bisa eksekusi langsung. Umpamanya seperti tuntutan untuk yang ditahan itu dilepas. Kenapa sih harus berlarut-larut ada prosesnya? Sudah, lepas saja semua,” sambungnya.
BACA JUGA: Temui Mahasiswa Semarang, DPRD Jateng Janji Teruskan Permintaan RUU Perampasan Aset ke DPR RI
Tunjangan DPR RI tak masuk akal di tengah masyarakat yang hidup serba sulit
Lebih lanjut, Andreas juga mengkritik besaran tunjangan DPR RI. Ia menyebut hal itu tidak pantas di tengah situasi masyarakat yang sedang kesulitan.
“Menurut saya sangat tidak pantas dan layak. Kondisi ekonomi tidak baik-baik saja, harga naik di mana-mana, masyarakat terbebani pajak, lapangan kerja juga sulit. Jadi mestinya DPR tidak menaikkan apa pun tunjangannya,” beber dia.
Ia menilai, justru yang ideal adalah DPR RI mengurangi tunjangan mereka sebagai bentuk empati terhadap masyarakat.
“Sebagian besar yang demo itu masyarakat miskin, kelompok marginal. Jadi kalau DPR peduli, mestinya malah mengurangi tunjangan. Jangan akal-akalan dengan penjelasan hanya naik sebulan atau setahun, itu mengada-ada,” pungkas Andreas. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi