“Mayoritas SPPG belum bersertifikat SLHS. Artinya mereka belum memenuhi standar keamanan dasar. Klaim bahwa dapur sudah baik tidak cukup tanpa sertifikasi eksternal dari pihak berwenang,” ungkapnya.
Berdasarkan data, sedikitnya 2.700 anak di Jawa Tengah mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG. Kasus tersebut tersebar di 15 dari 35 kabupaten/kota. Dari total 1.596 SPPG di provinsi ini, baru 84 yang mengantongi Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS).
Menurutnya, kondisi tersebut memperkuat dugaan bahwa pelaksanaan MBG di kejar target tanpa persiapan matang, mulai dari pengelolaan bahan baku, proses memasak, hingga distribusi ke sekolah.
“Kalau prosesnya tidak terdasari standar keamanan yang baik, pasti timbul masalah. Dan masalah itu sudah kita petik sekarang ini,” lanjutnya.
BACA JUGA: Lewat Usaha Pertanian-Peternakan, PT PNM Dorong 920 Ribu Kelompok Tani Perempuan Dukung MBG
Mufid juga menyoroti dugaan adanya upaya menutupi fakta di lapangan, termasuk tekanan agar kasus keracunan tidak di perbesar.
“Itu konyol dan sangat tidak dibenarkan. Dalam hak konsumen, ada hak untuk memperoleh informasi dan menyampaikan pendapat. Kalau masyarakat dilarang bicara, berarti hak dasarnya diabaikan,” tegasnya.
Ia mendesak pemerintah menjadikan kasus ini sebagai bahan evaluasi menyeluruh agar pelaksanaan MBG ke depan tidak lagi mengorbankan hak keamanan siswa sebagai penerima manfaat.
“Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 4, hak paling mendasar yang harus terlindungi adalah hak atas keselamatan dan keamanan ketika mengonsumsi produk barang dan atau jasa,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila