SEMARANG, beritajateng.tv – Otto Cornelis (OC) Kaligis selaku kuasa hukum terdakwa Jap Ferry Sanjaya (JFS) Direktur PT Matahari Makmur Sejahtera (MMS), menilai perkara dugaan korupsi sewa Plaza Klaten yang menyeret kliennya merupakan bentuk kriminalisasi.
Hal itu ia sampaikan usai sidang pertama dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Semarang pada Kamis, 4 Desember 2025.
OC Kaligis mempertanyakan mengapa pihak Pemkab Klaten yang menandatangani dan menyetujui kerja sama justru tidak terseret kasus tersebut.
Ia menegaskan perjanjian sewa tersebut berlangsung dengan restu dan tanda tangan Bupati Klaten saat itu, Sri Mulyani, serta pejabat terkait.
“Ini kan direstui, disetujui. Ada tanda tangan dari Bupati Sri Mulyani, tapi sampai sekarang tidak jadi terdakwa. Bagi saya, ini kebal hukum,” tegasnya.
BACA JUGA: Seret Pejabat Daerah, Jaksa Beberkan Rekayasa Sewa Kasus Korupsi Plaza Klaten
Menurutnya, karena penggunaan dana sepenuhnya berasal dari pihak penyewa, yakni PT MMS, maka prosesnya tidak termasuk dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Selain itu, dokumen perjanjian ternyatakan lengkap dan tertandatangani seluruh unsur pemerintah daerah terkait, termasuk Sekretaris Daerah dan bagian hukum.
Pengacara tersebut juga menyinggung kewajiban pelaporan tindak pidana sebagaimana teratur dalam Pasal 108 KUHP. Ia mempertanyakan mengapa Pemkab Klaten selama tiga tahun tidak pernah melaporkan dugaan penyimpangan, jika memang mereka menilai ada tindak pidana.
“Bagian pengadaan barang dan jasa itu kan ada di pihak Pemda, bukan di pihak kami. Kenapa sekarang kami dipersalahkan? Karena itu saya katakan ini kriminalisasi,” ujarnya.
OC Kaligis tunjukkan bukti-bukti dugaan kriminalisasi dalam kasus korupsi sewa Plaza Klaten
Ia juga menunjukkan bukti-bukti berupa tanda tangan pejabat Pemkab Klaten, serta foto Bupati Sri Mulyani yang hadir dalam peresmian Plaza Klaten yang disebut sebagai bagian dari legalitas kerja sama.
Kaligis menambahkan, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014, jika inspektorat tidak menemukan masalah dalam suatu kebijakan administrasi, maka perkara tersebut seharusnya tidak masuk ranah pidana.













