“Ada salah satu keluarga di Samarinda, Kalimantan yang punya anak kecanduan shabu. Sebelumnya sempat mendapat rehabilitasi di sana, tapi tidak sembuh. Sebelum tim kami berangkat ke Kalimantan, kami mengatur strategi agar anaknya mau,” tuturnya.
Saat ini, Ponpes At-Tauhid memiliki 30 orang santri, masing-masing 27 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Mayoritas santri berasal dari luar Kota Semarang, seperti Surabaya, Pekalongan, dan berbagai kota besar lainnya di Pulau Jawa.
Proses rehabilitasi menggunakan terapi psikoreligius ini membutuhkan waktu 1 (satu) tahun, yang dibagi menjadi 6 (enam) bulan masa pemulihan dan 6 (enam) bulan untuk pemantapan.
“Masa pemulihan itu adalah masa yang krusial, sebab hal yang paling penting adalah santri tersebut memiliki keterampilan, kesibukan, dan sesuatu yang bisa ia kerjakan. Ini sangat penting untuk kemudian mereka bisa benar-benar move on dari narkoba,” tegas Singgih.
Tidak hanya berkomitmen sembuhkan santri, Singgih mengaku pihaknya telah bekerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) untuk memberikan pelatihan keterampilan. Sebagai contoh, santri laki-laki mendapat pelatihan terkait keterampilan otomotif dan santri perempuan mendapat pelatihan keterampilan make up artist (MUA).
“Selain keterampilan itu, kami juga mewadahi santri yang minat berwirausaha. Kami langsung arahkan santri tersebut untuk praktik langsung ke koperasi kami atau usaha milik Jamaah kita,” tambahnya.
Sejak pertama kali berdiri, terhitung sudah 1.200 santri yang telah sembuh menggunakan terapi psikoreligius di Ponpes At-Tauhid dengan tingkat kepulihan sebesar 95 persen.
“Kenapa angkanya 95 persen? Karena untuk kecanduan itu adiksi itu penyakit kronis, sama kaya jantung, paru-paru. Ada kalanya mereka itu mengalami relapse,” tutupnya (*).
Editor: Andi Naga Wulan.