Berdasarkan data ESDM Jawa Tengah, sebagian besar berada di Blora. Kemudian tersusul oleh Rembang, Kendal, Batang, Boyolali, dan Grobogan.
Adapun sumur-sumur itu merupakan tinggalan Belanda, Pertamina, atau kontraktor migas sebelum tahun 1970.
“Dengan data yang ada di Pertamina, SKK Jabanusa maupun data yang kami miliki di Dinas ESDM, inventarisasi sejak tahun 2003 sampai 2008 itu sumurnya tidak sefantastis yang berbagai kalangan masyarakat laporkan sekarang,” tegas Agus.
Ia mencontohkan, laporan sumur migas dari Blora kerap kali tumpang tindih. Agus menyebut kerap kali kelompok masyarakat mengklaim memiliki 20 titik sumur, sementara kelompok lainnya melaporkan 50 titik, padahal titiknya sama.
“Masih perlu pengecekan apakah dari kelompok-kelompok yang melaporkan ini betul bahwa sumur-sumur yang terlaporkan sudah existing dan juga tidak sama yang kelompok lain laporkan,” ujar Agus.
Oleh sebab itu, validasi begitu penting agar antarkelompok di masyarakat tak saling klaim.
“Jadi mereka saling klaim. Nah ini tentunya kita akan melakukan validasi dengan melibatkan berbagai unsur instansi sesuai arahan Pak Menteri agar tidak terjadi konflik lagi di bawah,” jelas dia.
Agus akui sulit tertibkan sumur ilegal
Berdasarkan data ESDM Jawa Tengah, mayoritas sumur yang kini masyarakat kelola berada di Blora, sisanya sebagian kecil di Kendal.
Namun, kata dia, seluruh kegiatan masih teranggap ilegal karena belum tervalidasi. Hal itu Agus ungkap saat membahas pengawasan yang selama ini pihaknya lakukan.
“Belum ada pengawasan, karena itu kan sifatnya ilegal. Jadi nanti kalau sudah tervalidasi memiliki izin barulah kita mengawasi,” kata Agus.
Menurut Agus, legalisasi justru akan menyelamatkan mata pencaharian masyarakat agar usahanya tidak mati, tetapi tetap tertata dan hasilnya masuk ke negara. Meski begitu, penertiban tidak mudah. Agus menyebut pengeboran ilegal seperti kejahatan lain yang sulit tuntas pemberantasannya.
“Cuman ini jenenge ilegal kan angel (namanya ilegal susah). Polisi pirang juta kan maling copet yo tetep enek (polisi ada berapa juta kan maling, copet, tetap ada),” katanya.
BACA JUGA: Kebakaran Sumur Blora Masih Berlanjut, Warga Mengungsi Kekurangan Peralatan
Ia menegaskan, validasi menjadi pintu masuk agar praktik ilegal bisa terarahkan menjadi kegiatan legal, mendapat pembinaan, dan mengikuti prosedur resmi.
“Sing entuk (yang punya) usaha terus dilindungi, dibina, ditertibke carane sing bener (ditertibkan dengan cara yang benar). Enggak mungkin kene didik wong ilegal (kita mendidik pengusaha ilegal),” tutup Agus. (*)
Editor: Farah Nazila