“Selain itu, keterbatasan alat juga membuat proses memasak berulang. Misalnya memasak sayur tiga kali karena kuali kecil, sehingga masakan pertama punya waktu tunggu lebih lama dan risiko terkontaminasi lebih tinggi,” paparnya.
Untuk mencegah kasus serupa, Yusta menekankan pentingnya penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) guna melacak dan mengendalikan risiko di setiap tahap produksi makanan. Ia juga merekomendasikan agar dapur MBG memiliki Sertifikat Laik Hygiene Sanitasi (SLHS) sebagai jaminan higienitas.
BACA JUGA: 2 Ribuan Pelajar di Jateng Keracunan MBG, PPJI: Dapur Katering Justru Paling Aman
“Dengan sertifikasi, suhu dan kebersihan makanan bisa lebih terkontrol. Pengelola juga bisa menjaga makanan tetap aman dengan pendingin atau pemanas agar tidak masuk zona bahaya,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar ada perbaikan sistem MBG dengan memperkecil skala produksi. Alih-alih satu dapur melayani ribuan porsi, setiap dapur sebaiknya menangani 500–1.000 porsi saja, bahkan lebih baik jika kantin sekolah langsung yang mengelola.
“Bisa terapkan model seperti di Jepang karena masak makanan di dapur sekolah dan langsung siswa konsumsi, jadi tidak ada jeda waktu lama yang berisiko,” ujar Yusta.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Jawa Tengah, sedikitnya 2.700 siswa di 15 kabupaten/kota mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG. Dari total 1.596 dapur SPPG, baru 84 di antaranya yang mengantongi sertifikat SLHS. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi