Budaya viral lebih kuat dari norma?
Menariknya, bukan hanya remaja biasa yang terlibat dalam tren ini. Beberapa figur publik muda bahkan terang-terangan mengikuti tren tersebut demi menjadi viral, meski telah memiliki reputasi mapan.
“Zaman sekarang, standar bukan lagi soal moral atau norma, tapi apa yang bisa viral dan menghasilkan materi. Banyak yang sadar penuh mereka sedang memprovokasi, tapi itu dianggap sebagai jalan cepat menuju popularitas,” ujarnya.
Dengan algoritma media sosial yang mengutamakan sensasi, banyak unggahan semacam itu justru mendapatkan perhatian lebih, mendorong lebih banyak pengguna untuk meniru tanpa tahu dampaknya.
Tren dengan risiko depresi hingga gangguan identitas
Di balik viralitasnya, tren ini menyimpan potensi bahaya tersembunyi bagi remaja yang belum sepenuhnya memahami makna dan dampaknya.
“Ketika anak-anak ini sadar bahwa mereka terlanjur ‘branding diri’ secara salah, keluar dari lingkaran itu sangat sulit. Akibatnya bisa sampai pada stres berat, depresi, bahkan gangguan kepribadian,” kata Nuke.
Keterikatan dengan lingkaran sosial digital yang semu bisa membuat mereka merasa terperangkap. Terlebih, jejak digital tak bisa benar-benar dihapus.
“Bukan cuma sulit dihapus, tapi jejak itu bisa digunakan untuk melacak dan memanipulasi,” ujarnya tegas.
BACA JUGA: Awal yang Bikin Merinding, 6 Momen Kunci di Episode Pertama Drama Korea S Line
Fenomena S-Line menggarisbawahi pentingnya literasi digital dan pendidikan kesehatan mental sejak dini. Menurut Nuke, remaja perlu dibekali kemampuan memahami makna simbol, tren, dan konsekuensi digital atas setiap tindakan online mereka.
“Validasi sosial memang di butuhkan remaja. Tapi cara mencapainya perlu diarahkan. Jika tidak, media sosial akan menjadi ladang jebakan eksistensial yang berisiko,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila