SEMARANG, beritajateng.tv – 41 tahun sejak Indonesia meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Namun, berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan masih mengakar kuat, baik secara struktural maupun kultural.
Direktur Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), Muti Muntari menyebutkan data jaringan perlindungan perempuan di Jawa Tengah mencatat sebanyak 650 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2020–2024.
Lebih dari 50 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual.
BACA JUGA: Kasus Kekerasan Seksual Terus Meningkat, PKBI Jateng Edukasi Remaja Lewat Program Health Rangers
Kasus-kasus ini terjadi di berbagai ruang, termasuk privat, publik, lembaga pendidikan, hingga institusi keagamaan. Pelaku umumnya adalah orang-orang terdekat korban.
“Bahkan ada anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE). Bukan hanya tidak mendapatkan keadilan, tapi malah di keluarkan dari sekolah. Ada juga korban yang justru di nikahkan dengan pelaku,” ungkap Muti dalam acara peringatan 41 tahun ratifikasi CEDAW di Semarang, Rabu malam, 23 Juli 2025.
Peringatan ini berlangsung dengan melibatkan unsur perempuan lintas agama dan iman.
Doa bersama lintas iman berlangsung sebagai simbol komitmen bersama lintas komunitas untuk memperjuangkan keadilan bagi perempuan.
Kasus kekerasan seksual mandek, femisida meningkat
Muti juga menyoroti lemahnya penegakan hukum. Masih banyak penyidik yang tidak mempercayai keterangan korban, atau malah menstigmatisasi perempuan dewasa korban kekerasan seksual sebagai kasus ‘suka sama suka’. Selain itu, beberapa kasus kekerasan seksual anak terhentikan dengan alasan pelaku sudah lanjut usia atau sakit.
“Tahun 2024–2025 ini juga terjadi peningkatan kasus femisida. Kami mencatat 10 kasus perempuan dibunuh akibat kekerasan berbasis gender dan sebagian kasusnya mandek di proses penyidikan,” ujar Muti.