SEMARANG, beritajateng.tv – Hari ini tepat sepekan setelah Presiden RI ke-2 Soeharto resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden RI sekaligus menantunya, Prabowo Subianto.
Penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional memicu polemik. Kekhawatiran pun datang dari sejarawan sekaligus guru sejarah asal Semarang, Joseph Army Sadhyoko.
Joseph yang mengajar di SMA Kolese Loyola itu menilai, ada risiko besar ketika figur Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional tanpa narasi sejarah yang utuh.
“Sangat [khawatir]. Sangat-sangat malah. Sejarah itu harus objektif, harus sampaikan hitam dan putih. Kalau hitamnya yang banyak, selama bukti sejarah mengarah ke sana, sampaikan hitam yang banyak. Kalau secara riset ilmiah tidak layak, sampaikan itu,” ujar Joseph saat beritajateng.tv hubungi via panggilan WhatsApp, Senin, 17 November 2025.
BACA JUGA: Soeharto Resmi Pahlawan Nasional, Hersubeno Arief: Bisa Hormati Jasanya, Jangan Lupa Sisi Gelapnya
Ia menegaskan, negara harus bertanggung jawab atas penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional tersebut, utamanya kepada generasi muda di bangku sekolah.
“Kalau ini keputusan sepihak negara, negara harus memberi narasi yang jernih terkait posisi Pak Harto dalam konteks sejarah dan ilmiah. Sekarang kembali ke institusi negara. Negara mau jujur atau hanya memainkan narasi putihnya saja?” tegasnya.
Joseph menyoroti akar masalah yang menurutnya sudah berlangsung lama, yakni ketidakberimbangan narasi sejarah dalam dunia pendidikan. Ia menyebut ada dua poin penting yang harus segera diperbaiki negara melalui kementerian terkait.
“Permasalahannya adalah narasi sejarah dalam dunia pendidikan kita sudah dibuat atau dikonsep tidak seimbang. Ini yang berbahaya,” ujarnya.
Soeharto resmi pahlawan nasional, negara mesti tentukan arah kurikulum terkait Orde Baru dan Reformasi
Menurutnya, Kementerian Pendidikan dan pembuat kebijakan terkait seharusnya duduk bersama menetapkan arah kurikulum, terutama terkait pembelajaran masa Orde Baru dan Reformasi.
“Seharusnya negara melalui kementerian terkait yakni Kemendikdasmen Pak Abdul Mu’ti maupun Pak Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan harus duduk bersama menentukan arah kurikulum, utamanya masa Orde Baru dan era Reformasi harus bagaimana,” jelas dia.
Joseph menjelaskan, ketidakberimbangan itu tampak jelas dalam pendokumentasian era Orde Baru di buku pelajaran.
“Kalau bicara ketidakberimbangan, contohnya ya posisi Pak Soeharto. Diceritakan terlibat peristiwa 65–66, kemudian pelanggaran-pelanggaran HAM berat, dan sebagainya, itu sebenarnya dijelaskan dalam pelajaran sejarah,” ucap dia.













