SOLO, beritajateng.tv – Penampilan koreografi tarian “Samar” karya koreografer Anter Asmorotedjo dalam International Mask Festival (IMF) 2025 memancing perhatian bukan hanya karena keindahan visual dan kekuatan naratifnya, tetapi juga karena ritual-ritual halus yang mengiringi proses penciptaannya.
Anter dari Anterdans Yogyakarta itu menyuguhkan eksplorasi mendalam tentang identitas Jawa, tokoh Semar, dan peran spiritualitas dalam seni topeng modern.
“Satu itu tokoh Semar dalam keadaan marah. Yang satunya lagi, yang muncul dari bawah, saya sebut sebagai simbol penghancur atau perusak,” jelasnya kepada beritajateng.tv usai tampil di IMF 2025.
Dalam “Samar”, kepergian Semar divisualisasikan sebagai titik balik kekacauan. Identitas Jawa mulai hilang arah, dan tatanan kehidupan mengalami kerusakan. Namun, Anter menekankan bahwa karya ini juga menampilkan fase pemulihan.
“Ketika Semar kembali ke tanah Jawa, semuanya kembali normal,” ujarnya.
BACA JUGA: Gen Z Padati International Mask Festival 2025 di Solo, Ternyata Demi Nonton Konser Banda Neira
Bagian akhir tarian terhiasi lilin-lilin yang menyala, menjadi simbol penerangan, pencerahan, dan pulihnya harmoni setelah sang penjaga nilai kembali.
Ritual Kulo Nuwun, Etika Batin Saat Menghadirkan Semar
Walau tidak ada ritual baku, Anter mengaku selalu menjaga etika spiritual Jawa saat harus menghadirkan sosok seperti Semar di panggung.
“Saat latihan, kita biasanya hening bersama dan kulo nuwun. Yang penting menyebut kulo nuwun kepada Eyang Semar,” ungkapnya.
Bagi ia dan tim, menyebut “Eyang Semar” adalah bentuk penghormatan pada figur yang kedudukannya sangat kuat dalam kebudayaan dan spiritualitas Jawa. Ia menegaskan, dalam tradisi, Semar bukan sekadar tokoh pewayangan, tetapi sosok yang diyakini memiliki peran khusus menjaga keseimbangan.













