Scroll Untuk Baca Artikel
Catatan Editor

Remake vs. Original: Siapa yang Bunuh Kreativitas di Dunia Film?

×

Remake vs. Original: Siapa yang Bunuh Kreativitas di Dunia Film?

Sebarkan artikel ini
farah nazila
Farah Nazila. (Dokumen Pribadi)

FENOMENA film remake atau produksi ulang film yang sudah ada sebelumnya, sudah tidak asing lagi di mata para cinephile. Hal ini seringkali Hollywood lakukan untuk menarik para penonton, namun tetap menjaga warisan film-film lama yang dianggap ikonik.

Beberapa tahun belakangan ini, banyak film Hollywood yang merupakan hasil remake, mungkin jika dikalkulasikan, rata-rata ada 19 film remake dalam setahun.

Kita ambil contoh saja film India yang fenomenal itu, 3 Idiots (2009), memiliki remake film Meksiko Idiotas. Film yang dimainkan oleh Aamir Khan sebagai Rancho, Madhavan sebagai Farhan, dan Sharman Joshi sebagai Raju, itu dibuat versi Meksiko pada tahun 2017. Lagi, film berjudul Lake House (2006) yang Keanu Reeves dan Sandra Bullock bintangi itu memang menghadirkan nuansa cerita romantis yang manis, namun rupanya film itu merupakan remake dari film asal Korea Selatan berjudul Il Mare (2000).

Film-film remake ini tak jarang mengalami hit or miss (tidak menentu), produk tersebut biasanya akan masyarakat terima jika nilai-nilai artistiknya tidak mereka kurangi, makna simbolisnya tidak hilang dalam translation (terjemahannya) dan memiliki kualitas yang bagus secara visual, akting serta ‘permainan’ cinematografinya.

BACA JUGA: Fakta-fakta di Balik Bagman, Film Horor Bioskop tentang Teror Hantu Urban Legend

Maka dari itu, tak jarang kita melihat adanya produksi film remake yang ternyata tidak memiliki nilai yang para penonton harapkan.

Misalnya, film Psycho (1998) oleh Gus Van Sant yang merupakan remake dari film aslinya dengan judul yang sama, tahun 1960. Film remake itu dibenci para kritikus film karena terlalu mengikuti versi aslinya tanpa memberikan sentuhan baru. Selain itu, ada film romantis remaja Midnight Sun, yang Bella Thorne ini perankan tak membuahkan kritik yang baik, sebab tak memiliki nilai sentimental, tak seperti versi Jepangnya, Taiyou no Uta (2006).

Yang satu ini, pastinya banyak yang sudah mengetahui, film Ghost in the Shell (2017), film live action remake anime Ghost in The Shell (2006) ini mendapati komentar pedas karena pemilihan aktor kulit putih atau whitewashing untuk memerankan karakter orang Jepang, Makoto Kusanagi.

Dengan banyaknya film remake ini, muncul pertanyaan, apakah film para sineas ini sudah kehilangan kreativitas? Alih-alih merekrut penulis dengan ide yang baik dan autentik, mereka justru memilih untuk mengambil film yang teranggap sebagai klasik dan mengubahnya. 

BACA JUGA: Screening Film Tepatilah Janji di XXI Paragon Semarang, KPU Jateng Akan Gelar Lagi di Tiga Kota Ini

Mengutip dari esai dalam Film School Rejects, salah satu film pertama yang di-remake adalah film Perancis L’Arroseur arrosé. Film garapan Lumiere bersaudara pada tahun 1895. Satu tahun kemudian, film ini di reproduksi oleh Georges Méliès dengan judul L’Arroseur.

Di kala itu, belum ada peraturan mengenai hak cipta. Sehingga, re-produksi film dengan mudah di lakukan sutradara yang berbeda bahkan dari negara yang berbeda sekalipun.

Alasan di balik banyaknya sineas untuk melakukan remake film ini pun adalah cuan dan teknologi. Ya, bagaimanapun juga, ekosistem perfilman tak akan jauh-jauh dari industri berorientasi bisnis. Dengan ini, mereka mengedepankan film sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Sehingga, unsur kreativitas dan orisinal film tersebut pun dikesampingkan.

Alasan kedua adalah kemajuan teknologi yang pesat, salah satunya adalah teknologi audio yang kini mendominasi di perindustrian film. Karena budget peralatan mahal tersebut mahal, jadilah para sineas ini mengambil ‘jalan praktis’ dengan remake film yang ceritanya sudah pasti orang sukai. Hal ini untuk menjamin kesuksesan filmnya di pasar.

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan