SEMARANG, beritajateng.tv – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Ahmad Syamsudin Arief, mendesak Polda Jawa Tengah untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam mengusut kasus meninggalnya Iko Juliant Junior, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Arief menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa dianggap sebagai peristiwa biasa, terlebih karena terdapat bukti yang mengindikasikan adanya tindak kekerasan.
“Ada bekas luka, bahkan korban sempat mengigau agar tidak dipukuli pasca operasi. Ini memperkuat dugaan bahwa almarhum merupakan bagian dari massa aksi yang mendapatkan represivitas aparat,” ujar Arief saat Unnes temui di kantornya pada Rabu, 3 September 2025.
Arief menilai Polda Jateng tidak menunjukkan sikap profesional karena sering mengeluarkan pernyataan yang berubah-ubah terkait kronologi peristiwa.
“Awalnya polisi bilang A, besoknya berubah jadi B. Itu menunjukkan tidak ada transparansi. Bahkan ada upaya membingkai massa aksi sebagai perusuh atau anarko, ini bentuk ketakutan polisi terhadap suara rakyat,” katanya.
BACA JUGA: LBH Semarang Dampingi 3.252 Pejuang Keadilan Sepanjang 2024, Terbanyak Buruh
Menurutnya, polisi juga mencoba menghindar dari tanggung jawab dengan berdalih menunggu laporan resmi dari keluarga maupun kampus.
Padahal, kata Arief, kasus ini menyangkut dugaan kekerasan yang berujung kematian, sehingga bukan delik aduan.
“Seharusnya polisi bersikap progresif. Begitu ada dugaan keterlibatan aparat dalam kasus kematian, mereka wajib melakukan penyelidikan aktif, bukan pasif. Kalau tetap menunggu, berarti mereka memelihara kebobrokan di tubuh kepolisian,” jelas Arief.
Tuntutan LBH Semarang kepada pihak kepolisian
LBH Semarang menegaskan bahwa pemberlakuan penyelidikan harus secara transparan, akuntabel, dan berpihak pada keadilan.
Arief menuntut, pemeriksaan menyeluruh terhadap kronologi kematian Iko Juliant Junior. Olah TKP transparan untuk membuktikan apakah ada unsur kekerasan aparat.