“Sifatnya bukan kemudian meminta ini dan itu, meminta diskualifikasi, kan tidak ya, hanya secara umum. Pertama, kalau kita pertimbangkan putusan MK itu sifatnya final dan mengikat seperti UU. Kalau UU hari ini tersahkan, otomatis hari ini berlaku. Itu prinsip dari pada putusan MK,” jelasnya.
Lebih lanjut, amicus curiae tak langsung bisa memengaruhi maupun mengintervensi putusan MK. Sebab, banyak lembaga yang turut terlibat dalam Pemilu, tak hanya MK.
“Kewenangan antarlembaga penyelesaian sengketa Pemilu itu banyak, tidak hanya di MK, ada Bawaslu, KPU, DKPP, Sentra Gakkumdu. Sengketa pidana Pemilu ya Gakkumdu yang menyelesaikan, pelanggaran kode etik dari Ketua KPU itu DKPP, kalau sengketanya itu di MK, maka itu sengketa dari keputusan hasil,” jelasnya.
BACA JUGA: Dukung Surat Amicus Curiae Megawati, PDI Perjuangan Jateng Ziarahi Makam RA Kartini
Lebih lanjut, Junaidi menilai saat ini semuanya ditarik agar diselesaikan oleh MK di akhir. Hal itu tentu, menurutnya, bisa menyebabkan bias.
“Contohnya ketika paslon 02 itu anggapannya syaratnya tidak terpenuhi, KPU tidak mengeluarkan PKPU dan paslon itu bisa maju, maka keluarlah PKPU. Penyelesaian sengketa gimana? Itu kan Bawaslu dan PTUN yang punya bargaining position. Kemudian ini semuanya penyeesaiannya di ujung, yang mana sudah ada putusan dari KPU, kemudian jadi permasalahan di sana,” bebernya.
Ia pun memberi contoh Pemilu 2019 lalu saat posisi Cawapres terpilih Ma’aruf Amin yang jabatannya di perbankan syariah menjadi permasalahan.
“Pemilu 2019 lalu, Cawapres Ma’aruf Amin masih menjadi calon dalam kedudukannya di perbankan syariah, tapi kemudian tidak jadi permasalahan di awal. Malah jadi permasalahan di MK. Pada saat itu yang terjadi ya MK kesampingkan. Itu harus punya pengertian ini kewenangannya di mana, jangan tarik semuanya ke MK,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi