“Ketika ada pembangunan di darat, lautnya juga harus ikut dipikirkan. Ini adalah panggilan luas agar para akademisi ikut turut turun tangan memperbaiki carut-marut kondisi di pesisir Jateng. Kami tidak ingin desa-desa yang hilang karena tenggelam tertulis dalam sejarah,” tandasnya.
Suara Pengunjung: Foto yang “hidup” dan membangunkan empati
Salah satu pengunjung pameran, Ulya mengaku terkejut dan tergerak setelah menyaksikan langsung foto-foto tersebut. Ia menggambarkan pameran ini sebagai pengalaman visual yang menggambarkan penderitaan warga pesisir tanpa perlu banyak penjelasan.
“Nggak ekspektasi banyak, karena kupikir foto-fotonya sedikit. Ternyata cukup banyak dan bercerita banget. Bahkan kalau kita tidak baca tulisan di bawahnya, lewat foto saja sudah bercerita. Fotonya hidup,” katanya.
Salah satu foto yang paling membekas baginya adalah potret puing rumah di Tambaklorok yang tersisa akibat abrasi.
“Foto framing itu cukup berkesan untukku. Seperti ada penunjukan realita lagi, ini loh suasananya. Kadang foto-foto jenis ini bisa bikin kagum sekaligus sedih,” ungkap Ulya.
BACA JUGA: Keseruan Peringatan Hari Ibu Kota Semarang di Pasar Modern BSB City Mijen
Sebagai warga yang punya kedekatan emosional dengan wilayah pesisir, Ulya menemukan rasa keberdayaan baru melihat isu ini dibicarakan secara terbuka.
“Rasanya semakin tervalidasi, ya, karena aku warga pesisir juga. Yang awalnya cemas kalau cerita soal pesisir di ruang publik, sekarang cemasku berkurang. Aku merasa nggak sendirian,” tutupnya. (*)
Editor: Farah Nazila













