“Kalau hitung-hitungan ya, untuk menang itu AHY menjadi pertimbangan. Anies mungkin lebih populer di Jabar. Bagaimana kalau di Jateng sama Jatim, itu jadi pertimbangan. Karena konteksnya balik lagi, bagaimana untuk memenangkan pemilu,” tegasnya.
Gebrakan Anies dan Muhaimin satukan benang merah
Tak hanya itu, Fitriyah menilai, Muhaimin yang mulanya mesra dengan Prabowo pun mulai terancam sejak PAN dan Golkar memutuskan untuk berkoalisi dengan Gerindra.
Baginya, gebrakan ini merupakan pertemuan benang merah, yakni ambisi Anies untuk menang bertemu dengan kerisauan Muhaimin jika tak terpilih jadi Cawapres Prabowo.
“Dulu ketika hanya dua (Gerindra dan PKB), posisi Cak Imin cukup kuat. Kan Gerindra tidak bisa maju sendirian. Dia harus dengan tambahan partai. Itu sebenarnya cukup dengan tambahan PKB. Presidennya dari Gerindra, Wakilnya dari PKB. Kemudian ada PAN dan Golkar masuk, kan petanya berubah. Artinya Gerindra tidak lagi bergantung kepada PKB, harapan jadi Cawapres (untuk Muhaimin) itu semakin lemah,” terangnya.
Dalam kacamatanya sebagai pengamat politik, Fitriyah melihat baik PKB maupun Demokrat sama-sama mengincar kursi Cawapres. Bahkan, tindakan mengancam untuk keluar dari koalisi jika tak diberikan kursi Cawapres sering terlontar dari kedua kubu.
“Masing-masing baik Demokrat maupun PKB itu sering kan semacam tarik-ulur, saling mengancam. (Ketum NasDem) Surya Paloh melihat peluang itu. Posisi Cak Imin yang mungkin akan tergeser dengan masuknya PAN dan Golkar, yang sementara satunya tidak menghendaki AHY,” ucapnya.
“Makanya terjadi pertemuan antar benang merah kepentingan itu. Antara kebutuhan Surya Paloh untuk melengkapi Anies itu adalah basis yang dibutuhkan di daerah di luar Jabar. Itu kan (basis PKB) kuat di Jatim dan Jateng, mungkin pertimbangannya itu,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi