“Secara prinsip kami juga membersamai tuntutan 17+8 bersama teman-teman gerakan lain. Namun dalam konteks Jateng, kami menspesifikasi pada permasalahan regional yang perlu dikawal,” jelasnya.
Nathael juga menyoroti gaya hidup mewah pejabat dan keluarganya yang teranggap mencolok di tengah kondisi rakyat. Menurutnya, fenomena itu melahirkan jurang kesenjangan.
“Hal yang terjadi saat ini adalah masyarakat melihat kesenjangan kehidupan mewah pejabat dan keluarganya, nepo kids, nepo babies, yang tidak sebanding dengan rakyat sebagai tuannya. Rakyat yang bayar pajak, tapi justru hidupnya ditekan dengan UMP rendah, sementara pejabatnya hidup berlebihan,” tegasnya.
BACA JUGA: Timnas Indonesia Bersiap Laga Bulan Ini, Apa Saja Persiapannya Jelang Merumput di Lapangan Hijau Surabaya?
Nathael menilai, pejabat seharusnya tidak hanya berbicara soal perbaikan, melainkan memberi langkah nyata yang bisa langsung masyarakat rasakan.
“Kalau bisa, tunjangan atau dana aspirasi diberikan langsung ke masyarakat. Itu jauh lebih meringankan, atau dibuat program jangka panjang untuk menggerakkan ekonomi, UMKM, dan usaha kecil,” katanya.
Kritik pejabat nirempati, PMKRI desak alokasi gaji untuk korban dan rakyat miskin
Nathael juga menyinggung minimnya empati pejabat atas berbagai persoalan bangsa. Ia membandingkan dengan kondisi di Nepal, yang mana pemimpin tinggi bahkan mundur akibat tekanan rakyat. Sementara di Indonesia, menurutnya, tak satu pun pejabat melakukan hal serupa.
“Sebagian besar pejabat kita nirempati terhadap kondisi saat ini. Bahkan tidak ada satupun yang mau mengundurkan diri. Alih-alih begitu, mengalokasikan dana operasionalnya untuk rakyat saja juga tidak dilakukan,” ujarnya.
Ia menyebut kekecewaan itu semakin dalam ketika melihat para korban demonstrasi belum mendapatkan jaminan yang layak.
“Kan ada 10 korban yang turun untuk mengawal demokrasi, tapi jaminan terhadap keluarganya, saksi, atau korban itu belum ada. Sampai sekarang hanya Affan yang baru dapat jaminan. Itu sangat melukai,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, PMKRI mendesak agar pejabat yang terlibat dalam masalah ini minimal rela mengorbankan sebagian gaji atau fasilitas negara yang mereka terima untuk dialihkan kepada masyarakat miskin dan rentan.
“Kalau mereka tidak mau mundur, minimal sekurang-kurangnya merelakan dana operasional atau gajinya untuk masyarakat yang rentan dan miskin,” pungkas Nathael. (*)
Editor: Farah Nazila