Dari segi tema, Riba dengan cerdas memadukan horor supranatural dengan kritik sosial yang relevan.
Istilah “riba” di film ini bukan hanya merujuk pada konsep agama, melainkan menjadi simbol tentang “darah anak” yang terus menjadi tumbal demi ambisi sesaat.
Nuansa budaya Jawa juga sangat kuat mulai dari penggunaan sesajen, mantra berbahasa Jawa kuno. Hingga wujud makhluk halus yang terinspirasi folklore setempat, semuanya membuat film ini terasa sangat “Indonesia”.
BACA JUGA: Sedang Tayang di Bioskop! Begini Review Film Pengin Hijrah 2025
Pesan moralnya tersampaikan dengan lembut seperti ucapan Mbok Lastri, “Utang dunia dibayar dunia, utang akhirat di tukar nyawa” yang tetap terngiang hingga film berakhir.
Dari aspek teknis, sinematografi karya Fajar Bagaskara layak mendapatkan pujian.
Pencahayaan temaram dari lampu teplok, bayang-bayang panjang di area perkebunan tembakau, serta desain suara yang menggabungkan hembusan angin malam dengan bisikan-bisikan ritual berhasil membangun atmosfer horor tanpa mengandalkan CGI berlebihan.
Musik garapan Rahung Nasution, yang memadukan unsur gamelan dengan orkestra modern, juga sukses menambah sensasi merinding. (*)













