Kupat Jembut miliki sejarah panjang
Imam Masjid Roudhotul Muttaqin, Munawir, menjelaskan bahwa tradisi Kupat Jembut bermula usai Perang Dunia II.
Saat itu, warga Pedurungan terpaksa mengungsi akibat serangan Sekutu. Setelah kembali ke kampung halaman pada tahun 1951, mereka merayakan kebersamaan dengan cara sederhana: membelah ketupat dan membagikannya sebagai simbol kembalinya kehidupan normal dan saling memaafkan usai Idulfitri.
“Ketupat yang di belah dua itu menandakan Idulfitri telah usai, dan masyarakat siap kembali ke rutinitas,” ungkap Munawir.
Pada era 1960-an, warga menabuh alat masak untuk mengumpulkan anak-anak, lalu membagikan petasan sebagai simbol perlawanan terhadap komunisme. Kupat Jembut sendiri mencerminkan kesederhanaan. Isinya hanya tauge dan sambal, melambangkan bahwa masyarakat harus menelan segala masalah dan kembali suci setelah Ramadan.
BACA JUGA: Pungli Berkedok THR Resahkan Warga di Pasar Kliwon Kudus, Ternyata Tradisi Tahunan
Kini, tradisi Syawalan Kupat Jembut tak hanya berlangsung di Jaten Cilik. Beberapa kampung lain di wilayah Kelurahan Pedurungan turut melestarikannya. Warga menyambut tradisi ini dengan tertib, sambil terus menanamkan nilai kebersamaan, gotong royong, dan makna spiritual yang mendalam.
Dengan semangat kebersamaan dan nuansa kekeluargaan, tradisi ini menjadi bukti bahwa warisan budaya lokal masih hidup dan mengakar kuat di tengah masyarakat Semarang. (*)
Editor: Farah Nazila