“Kalau dulu kan kita hanya menerima (ajaran agama) saja. ‘Pokoknya gini’, ‘Kok bisa gini kenapa ya?, ya intinya kita semakin menggali sendiri juga,” beber Yohana.
“Karena kita di sini belajar sama-sama cari kearifan. Yang tadinya kita merasa terpecah-pecah, setelah mendalami ini kita jadi bisa mendalami agama masing-masing secara lebih dalam. Yang dulunya kurang, sekarang lebih paham agama kita dan juga agama lain. Penalaran kita lebih terbuka,” terangnya.
Telah bergabung sejak tahun 2000 silam, Yohana mengaku tak ada distraksi antara ajaran Theosofi yang ia pelajari dengan agama yang ia yakini.
Sebanyak 20 orang aktif berkegiatan di Sanggar Wijayakusuma
Hingga saat ini, anggota Theosofi yang aktif berkegiatan di Sanggar Wijayakusuma tercatat sebanyak 20 orang. Adapun anggota yang berusia paling muda yakni 30 tahun.
Mempelajari Theosofi bukanlah hal yang mudah bagi Yohana. Meskipun persyaratan masuk sebagai anggota Theosofi berusia minimal 19 tahun, ajaran filsafat yang cukup berat menjadi alasan mengapa usia termuda yang bergabung berada pada usia 30-an.
“Anggota yang aktif itu sebenarnya ada 20 orang. Edisi baru-baru ada yang muda usia 30-an. Theosofi ini kan banyak yang menyebut filsafat ya. Belajar filsafat kan susah, kalau matematika kan kita belajar dari SD, kalau filsafat kan rodo abot (agak berat),” tuturnya.
Sanggar Theosofi tak hanya eksis di Kota Semarang saja, namun tersebar di berbagai penjuru kota lain. Seperti Solo, Bogor, hingga Jakarta.
Berdiri sejak tahun 1934, Yohana mengaku tak ada pihak luar yang menganggu maupun berniat untuk menutup kegiatan anggota Theosofi Sanggar Wijayakusuma.
“Enggak ada, karena justru saya mau masuk kesini kan ini berbadan hukum yang sah. Ada UU dari Direktorat Jenderal Pendidikannya,” terang Yohana.
“Ini sebuah persaudaraan sekaligus pekumpulan tentang pemahaman. Theosofi itu mengarahkan kita untuk lebih logis, menggunakan nalar, realitas. Tidak hanya menerima dogma semata,” pungkasnya. (*)
Editor: Ricky Fitriyanto