“Kalau hanya dikeruk tapi daerah hulunya tidak dibenahi, sedimentasi akan kembali lagi. Penanganan harus menyeluruh,” ujarnya.
Ia menilai upaya pengendalian banjir di Semarang perlu diarahkan pada pengelolaan daerah tangkapan air di wilayah hulu. Penambahan area resapan, konservasi lahan, dan penghijauan menjadi langkah penting untuk menekan laju sedimen yang masuk ke badan sungai.
BACA JUGA: Tanggul Sungai Plumbon Jebol, Air Meluber hingga Jalan Pantura dan Rendam Ratusan Rumah
Selain itu, Sudarto menekankan pentingnya keterlibatan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga masyarakat. Salah satu solusi yang menurutnya efektif adalah penerapan sumur resapan di lingkungan permukiman.
“Idealnya setiap rumah memiliki sumur resapan minimal satu meter kubik. Kalau ini bisa berjalan secara masif, limpasan air ke sungai akan berkurang dan cadangan air tanah juga bertambah saat kemarau,” jelasnya.
Ia mencontohkan Sungai Plumbon sebagai salah satu sungai yang sudah tidak mampu lagi menampung debit air yang masuk. Beban aliran yang terlalu besar membuat sungai tersebut rawan meluap ketika hujan deras.
“Kalau bebannya terlalu besar, sungai harus kita lebarkan. Sungai Plumbon perlu desain ulang, hitung ulang dari mana saja aliran masuknya. Lalu disesuaikan dengan skala banjir lima tahunan atau 15 tahunan,” kata Sudarto.
Menurutnya, tanpa perencanaan ulang yang matang, upaya pengendalian banjir di Kota Semarang hanya akan bersifat sementara. Sedimentasi yang terus menumpuk menjadi sinyal bahwa pengelolaan sungai harus berjalan secara terpadu dari hulu hingga hilir.
Kondisi sungai yang kian dangkal ini menjadi peringatan penting bagi semua pihak. Jika tidak segera tertangani secara menyeluruh, ancaman banjir akan terus menghantui Kota Semarang, terutama di tengah perubahan iklim yang memicu hujan ekstrem semakin sering terjadi. (*)
Editor: Elly Amaliyah













