“Kalau di radio kita ngikutin gaya station, durasi sekian, bahasan ini. Tapi kalau podcast mau dibawa kemana terserah kita, lebih bebas berekspresi,“ kata alumni Ilmu Komunikasi USM itu.
Di tengah maraknya podcast audio visual, Pandu tetap konsisten dengan podcast audionya. Ia sendiri masih mengunggah podcastnya di platform spotify.
Meski di sisi lain, Pandu mengakui jika podcast dengan format audio visual lebih menguntungkan. Misalnya bisa menyampaikan lebih banyak ekspresi kepada penonton.
“Bagi aku podcast itu ruang bercerita, ekspresikan diri, apa yang dirasa, lebih oke kalau bisa ngeshare pengalaman-pengalaman atau pendapat tentang suatu hal,” ucapnya.
BACA JUGA: Dorong Kreativitas, PKM Ilmu Komunikasi USM Kulik Podcast Bareng Siswa SMKN 1 Semarang
Menurut Pandu, siapapun kini bisa menjadi podcaster. Bahkan, cukup bermodalkan dengan niat dan tekad.
Berbicara peralatan, kata Pandu, tak harus lengkap atau mahal. Hanya dengan satu buah handphone sehari-hari pun bisa. Yang terpenting ialah berani mencoba.
“Coba dan jangan malu-malu. Perbaikan-perbaikan itu datang sambil jalan. Coba aja dulu sebisanya, semampunya,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila