“30 persen itu kita masih jauh banget, masih sulit. Karena apa? Mahal. Yang kemarin paling kecil butuh Rp5 miliar untuk di pusat [DPR RI]. Kalau sebagai calon, itu partisipasi perempuan memang sudah 37,7 persen, tapi terpilihnya baru sekitar 22,24 persen atau 129 dari 580. Itu masih jauh, padahal kita sudah lima kali Pemilu,” tegasnya.
Puji tuturkan ada caleg perempuan kenalannya yang harus mengalah karena kerabat elite parpol
Lebih lanjut, Puji membeberkan adanya diskriminasi perempuan dalam dunia politik yang menurutnya sudah jadi rahasia umum.
Puji menuturkan, parpol bagi perempuan bak tembok penghalang yang menyulitkan mereka untuk masuk.
Ia menuturkan, ada salah satu caleg perempuan kenalannya yang aktif di parpol. Kata dia, caleg perempuan itu mau tidak mau harus menerima nasibnya, yakni tergeser oleh kandidat yang memiliki hubungan erat dengan elite parpol tersebut.
“Parpol tidak semuanya juga bersih. Bersih dari apa? dari di bawah siapa, orangnya siapa. Yang saya tau, ada perempuan yang terluka. Dia sudah membangun wilayah di mana akan dicalonkan atau diusung. Dia digeser. Oleh siapa? Oleh anaknya elite partai, pemimpin parpol dari pusat,” ujar Puji.
“Padahal bertahun-tahun sudah membabat wilayah di mana si perempuan itu sudah yakin kalau dia punya konsituen yang loyal kepada dia, tapi mau gak mau dia tergeser,” tandas dia.
Oleh sebabnya, ia berharap parpol memiliki standarisasi dalam merekrut seseorang, tanpa melakukan diskriminasi kepada perempuan.
“Parpol harus punya metode kualifikasi dalam merekrut pencalonan, orang yang dicalonkan harusnya ada standarisasi yang bisa diakses oleh siapa pun. Dia punya pengalaman politik, sudah jadi bagian dari partai; orang kan jadi bisa ngukur,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi